Oleh : Evan Samuel Grigorius

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem politik demokrasi dan negara hukum. Hal tersebut tertulis dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Selain itu, Indonesia juga menganut sistem Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 28J UUD NRI 1945. Dengan struktur susunan konstitusi sebagaimana dimaksud, nyatanya Indonesia masih kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. Kesenjangan das sollen das sein hukum di Indonesia, sebagai produk dari demokrasi, masih dapat dikatakan senjang.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, harus siap menerima konsekuensi logis dari demokrasi itu sendiri. Menurut pendapat dari Aristoteles, demokrasi tanpa kekuatan hukum yang mengikat, dapat membuat negara menjadi korban politik oleh kekuatan massa. Pendapat tersebut secara nyata terjadi hari ini, produk pemimpin dari proses demokrasi kita, tidak mampu untuk menjalankan kewajiban yang tertulis dalam peraturan perundang – undangan yang ada, bahkan melanggar ketentuan yang tertulis dalam peraturan perundang – undangan. Hasil dari kekuatan massa yang terakumulasi dalam Pemilihan Umum 2019 hari ini secara jelas menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang ada, disebabkan penegakan hukum yang lemah.

Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki konsekuensi logis tersendiri atas sistem tersebut. Sistematika negara hukum merupakan sebuah sistem yang menuju tatanan supra – struktur dan infra – struktur kelembagaan tertib hukum. Berdasarkan pemikiran tersebut, secara langsung diperlukan sebuah proses law making dan law enforcing yang optimal dan pro – lingkungan dalam isu ini. Dengan sistem seperti ini, diharapkan proses demokrasi dapat berjalan dengan baik tanpa menciptakan negara sebagai korban politik massa banyak dengan menjadikan hukum sebagai pengikat bernegara. Namun, pada kenyataanya hari ini, hukum tidak dapat mengendalikan tindakan korporat – kapitalistik yang merusak lingkungan hidup dan merugikan mayarakat umum, sistematika negara hukum yang justru menjadi garda terdepan dalam mencegah efek negatif dari kekuatan massa banyak demokrasi, bahkan mulai memiliki kekuatannya dalam mengendalikan hukum, misalnya pembentukan Omnibus Law dimana sangat menguntungkan pihak korporat dan merugikan pekerja.

Keadaan buruk tersebut direfleksikan terhadap terjadinya ecocide[1] di Indonesia. Pada kurun waktu September 2019, kebakaran hutan dan lahan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah sempat mengalami kepungan uap asap dari kejadian tersebut sehingga sekurang – kurangnya sempat menyebabkan diliburkannya sekolah dasar di lokasi tersebut selama 2 (dua) minggu. Selain itu, terdapat kasus lain ketika minyak mentah milik Pertamina tumpah di pesisir pada Minggu, 21 Juni 2019, akibat dari kejadian oil spill ini, terjadi pencemaran terhadap pohon mangrove, daya dukung lingkungan terhadap ekonomi nelayan juga terpengaruh dengan menjauhnya ikan – ikan hingga jaring nelayan yang terkena minyak. Bahkan diketahui dalam data yang disajikan oleh Indonesian Center for Environmental Law (selanjutnya disebut ICEL) dalam kurun waktu 2014 – 2018, kurang lebih terdapat total kerugian lingkungan hidup sebesar Rp. 2.718.734.023.400,- (dua triliun tujuh ratus delapan belas milyar tujuh ratus tiga puluh emat juta dua puluh tiga ribu empat ratus rupiah) dan dari total kerugian lingkungan hidup tersebut, kurang lebih terdapat kerugian yang bersifat ekologis sebesar Rp. 902.028.033.300,- (sembilan ratus milyar dua puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu tiga ratus rupiah) . Keadaan ini menggambarkan bagaimana ecocide masih berlangsung dan merusak ekosistem di Indonesia.

Dengan kekacauan yang terjadi terhadap lingkungan hidup dan ekosistem di Indonesia, Environmental Human Rights Defender (selanjutnya disebut EHRD) diperlukan sebagai gerakan ekstra – parlementer. Merefleksikan peristiwa dan kejadian pengerusakan lingkungan di Indonesia, mengandalkan pemerintah saja dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan ekosistem di Indonesia adalah utopis. Partisipasi masyarkat dibutuhkan dalam menangani isu lingkungan hidup dan ekosistem, pada akhirnya sistem demokrasi dibentuk sebagai upaya kekuatan masyarakat terhadap pemerintahannya, maka dari itu perlawanan dan pengawasan dengan instrumen EHRD merupakan solusi yang tepat dalam kasus ini, mengingat keterlambatan atau ketidakmampuan respon pemerintah  atau korporat terhadap isu lingkugan hidup dan ekosistem. Tentunya dengan perancangan strategis pergerakan di masa depan yang terarah dan revolusioner, EHRD dapat menjadi agen utama dalam pemulihan lingkungan hidup dan ekosistem di Indonesia. EHRD akan menjadi harapan bagi Indonesia untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan menjaga daya dukung lingkungan agar tetap optimal.

Perlindungan terhadap EHRD pada hari ini harus dapat menghadapi aparatus – aparatus negara. Dalam menjadi aktivis, sudah menjadi resiko apabila harus berhadapan dengan aparatus represif negara dan aparatus ideologis negara demi menjaga status quo pemerintah – korporat. Aparatus represif negara merupakan aparat negara yang mempertahankan status quo dengan cara kekerasan, misalnya angkatan bersenjata, sedangkan aparatus ideologis negara merupakan aparat negara yang mempertahankan status quo dengan cara agitasi dan propaganda, misalnya guru atau dosen. EHRD agar dapat terlindungi secara menyeluruh, sekurang – kurangnya diwajibkan mampu berhadapan dengan dua perangkat tersebut. Kedua perangkat tersebut bahkan harus mampu EHRD agitasi dan propaganda kembali karena kedua perangkat tersebutlah yang sebenarnya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah yang keadaanya hari ini sedang dikuasai oleh kaum korporat.

Penguasaan terhadap kedua aparat tersebut memungkinkan reproduksi masyarakat korporat ekstraktif dan eksploitatif. Satu hal yang perlu diketahui oleh kelompok EHRD, bahwasannya mereka harus memahami minimal pemikiran Louis Althusser mengenai sudut pandangnya dalam melihat kemampuan reproduksi kaum korporat (kapitalistik). Louis Althusser dalam memandang hal tersebut, dapat membedah bahwasannya negara memang sudah menjadi inang bagi kaum kapitalistik untuk bereproduksi demi menjaga kepastian sebuah kelas penindas terhadap kaum pekerja. Satu hal pasti yang harus dipahmi oleh kelompok EHRD, pemikiran Louis Althusser yang telah menua tersebut nyatanya masih relevan dalam kehidupan hari ini, namun ada hal menarik dari pemikiran tersebut, selain kaum pekerja yang menjadi korban, hari ini terdapat korban lainnya yakni lingkungan hidup dan ekosistem yang daya dukung kehidupannya dibuat mati (ecocide). Maka dari itu, penyatuan basis antara pekerja dan EHRD harus segera dilaksanakan karena memiliki satu musuh yang sama yakni kaum korporat ekstraktif dan eksploitatif, mengingat kaum korporat tersebut memiliki akses atas pengendalian kedua aparatus. Solidaritas antar pekerja dan EHRD secara tidak langsung dapat meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dari gempuran kedua aparatus tersebut.

Kesadaran akan lingkungan hidup dan ekosistem dengan daya dukung kehidupan tinggi perlu ditingkatkan. Dalam paragraf awal, kemampuan pemahaman orang Indonesia terhadap HAM masih tidak optimal. Pada umumnya, HAM bagi orang Indonesia dianggap cukup mengenai hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Berkaitan dengan hal tersebut, bukan barang baru apabila orang Indonesia masih kurang ‘melek’ terhadap isu lingkungan hidup dan ekosistem, tetapi reaktif terhadap isu penculikan aktivis atau pemecatan buruh karena memang pada dasarnya orang Indonesia, bahkan aktivis yang ada hari ini, mungkin belum menganggap bahwa isu lingkungan hidup dan ekosistem merupakan pelanggaran HAM. Perlu disebarluaskannya ideologi berpikir EHRD supaya terbentuk dengan mantap esensinya dan eksistensinya di Indonesia.

Pelanggaran HAM atas perusakan lingkungan hidup dan ekosistem dari sudut pandang hukum positif Indonesia sudah diatur, namun kesenjangan das sollen das sein yangdisebabkan dominasi faktor sistem demokrasi korporat eksploitatif dan ekstraktif membuat sistem negara hukum ditembus.  Sebagaimana diatur dalam konstitusi pada Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945, selain itu apabila kita membaca dan memahami Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH), UUPPLH memiliki politik hukum untuk melaksanakan perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup agar manusia berkembang dan bekerjasama dengan lingkungannya. Bahkan dalam Pasal 74 UUPPLH diwajibkan untuk sebuah Perseroan melaksanakan tanggung jawab sosialnya apabila berkaitan dengan sumber daya alam, dimana dalam hal ini UUPPLH mengakui lingkungan hidup dan ekosistem merupakan HAM untuk semua dan wajib untuk diperjuangkan sebagaimana mestinya.

Dengan demikian, kesulitan perlindungan terhadap EHRD tidak terletak pada sistem negara hukum di Indonesia melainkan pada sistematika penguasaan akses demokrasi oleh kaum korporat eksploitatif dan ekstraktif. Tergambar dan terbukti teori Louis Althusser bahwasannya dengan penguasaan atas aparatus ideologis dan aparatus represif, sistem hukum yang memuat ketentuan pidana penjara sekalipun tidak mempan untuk menghantam korporat eksploitatif dan ekstraktif untuk dijebloskan masuk dalam liang penjara. Maka dari itu, EHRD di Indonesia dapat mengambil peran pelopor perlawanan ecocide di Indonesia sebagai inisiator penyadaran lingkungan hidup dan ekosistem di Indonesia sebagai perlawanan terhadap aparatus ideologis negara, advokasi terhadap aktivis lingkungan di Indonesia atau aksi jalan sebagai perlawanan terhadap aparatus represif negara, dan penguatan basis dengan kelompok lain yang juga kontra terhadap korporat ekstraktif dan eksploitatif misalnya kelompok pekerja Indonesia yang juga sedang ditindas dengan keberadaan Omnibus Law.


  • [1] Ekosida (ecocide) merupakan sebuah tindakan perusakan lingkungan yang mempengaruhi ekosistem sehingga menyebabkan kerugian bagi manusia. Dalam hal ini perusakan tersebut menimbulkan sebuah efek yang membuat daya dukung kehidupan manusia menurun drastis, seperti daya dukung lingkungan untuk pangan, daya dukung lingkungan untuk oksigen, kesimpulannya perusakan sebuah ekosistem yang telah terbentuk antar daya dukung lingkungan dan manusia, dimana kerusakan dari ekosida menyebabkan daya dukung lingkungan kepada manusia tersebut terhambat atau bahkan berakhir.