Oleh : Petrus Kanisius Siga Tage
Pada akhir tahun 2019, tidak ada yang tahu bahwa virus SARS-CoV-2 ada. Namun dengan cepat—kurang dari enam bulan—virus ini telah menyebar ke hampir setiap negara, menginfeksi jutaan orang dan membunuh ratusan ribu lainnya. Pandemik ini telah menghancurkan ekonomi dan sistem perawatan kesehatan, mengantar orang ke rumah sakit, mengosongkan ruang publik, memisahkan orang dari tempat kerja dan kolega mereka dan mengganggu kehidupan masyarakat modern dalam skala yang belum pernah disaksikan oleh kebanyakan orang hidup.
Kasus ini bukanlah persolan baru. Dalam dua dekade terakhir, munculnya epidemi virus merupakan ancaman besar bagi kesehatan manusia dan masyarakat. Virus menular ini telah diidentifikasi sebagai virus demam berdarah (Lassa, Ebola), virus corona baru termasuk sindrom pernafasan akut yang berat CoV (SARS-CoV), sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS-CoV) dan influenza yang mematikan (Qu, Li, Hu, & Jiang, 2020). Penyakit menular berbahaya ini sejak lama dikonfirmasi sebagai penyakit zoonosis atau penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan jamur yang ditularkan secara alamiah diantara hewan vertebrata dan manusia (Lee & Hsueh, 2020; Liu, Gayle, Wilder-Smith, & Rocklöv, 2020).
Berbasis lingkungan
Ketika COVID-19 berubah menjadi krisis kesehatan masyarakat yang meluas dan dalam, banyak teori mengenai asal virus ini mulai beredar di internet, semuanya dengan tema yang sama: virus itu direkayasa di laboratorium oleh pemerintah yang nakal dengan agenda sisipan didalamnya. Informasi yang salah ini berasal dari akun media sosial dan situs web tanpa bukti yang kredibel untuk mendukung klaim yang muncul (Mian & Khan, 2020). Tetapi, pada akhirnya studi yang menganalisis genom COVID-19 baru-baru ini, justru mengkonfirmasi bahwa virus SARS-CoV-2 berasal dari lingkungan alam (Lu et al., 2020; Zhou et al., 2020). Lahirnya virus yang berasal dari lingkungan alam, oleh banyak sarjana dijabarkan sebagai konsekuensi dari perubahan lingkungan yang ekstrim. Dalam laporan systematic reviews terhadap 42 penelitian di seluruh dunia yang ditulis oleh Nava, Shimabukuro, Chmura, & Luz (2017) mengenai dampak perubahan lingkungan dan penyakit infeksi berhasil menunjukkan pengaruh perubahan lingkungan terhadap kejadian penyakit. Lebih lanjut, studi ini mengidentifikasi beberapa persoalan lingkungan yang dapat menyebakan penyakit seperti; 1) perubahan penggunaan lahan (deforestasi, penambangan, ekstraksi minyak, dll.), 2) perubahan produksi pangan (intensifikasi ternak ekstrim tanpa langkah-langkah biosekuriti yang tepat) dan 3) pertanian dan urbanisasi yang secara simultan mengubah struktur dan fungsi ekosistem dan pola distribusi spesies dan keanekaragaman hayati. Melengkapi penyebab ini dijabarkan pula dalam studi lain bahwa fragmentasi dan hilangnya habitat hewan dapat mengubah struktur hidup dari komunitas spesies tertentu dan dapat mengakibatkan perluasan wabah penyakit zoonosis (Gay et al. 2014; Kamiya et al. 2014; Rubio et al. 2014) serta perubahan penggunaan lahan yang didorong oleh antropogenik mempercepat terjadinya proses pertumbuhan patogen penyakit (Murray & Daszak, 2013).
Bersinggungan dengan pandemi baru-baru ini, meski belum ada studi resmi yang menggambarkan kausalitas lingkungan terhadap munculnya varian virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19, tetapi, para sarjana berasumsi bahwa sangat mungkin wabah ini terjadi kerena faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan ekologi serta meningkatnya interaksi manusia dengan hewan (Chen, Liu, & Guo, 2020) pendapat yang lebih spesifik juga dijabarkan oleh Aaron Bernstein (2020), Direktur Center for Climate, Health, and the Global Environment Universitas Harvard, ia menjelaskan bahwa perubahan iklim mengubah cara manusia berhubungan dengan spesies lain di bumi yang memengaruhi kesehatan manusia dan risiko manusia untuk terpapar infeksi. Lebih lanjut Bernstein menjabarkan bahwa saat planet memanas, hewan besar dan kecil, di darat dan di laut, menuju ke kutub untuk keluar dari panas. Itu berarti satu hewan akan bersentuhan dengan hewan lain yang memberi peluang bagi patogen untuk masuk ke inang baru.
Lingkungan dan penyakit
Untuk memahami pengaruh transmisi penyakit pada manusia, para pakar telah menjabarkan pengaruh interaksi antara patogen (virus, bakteri, parasit atau jamur), inang (hewan dan manusia) dan lingkungan (Jones et al., 2008; Barrett, Thrall, Burdon, & Linde, 2008, Conraths et al., 2011). Peristiwa penyakit infeksi dapat dianggap sebagai pergeseran dalam karakteristik interaksi antara patogen-inang-lingkungan. Perubahan dalam lingkungan inang dan ekologi penyakit adalah kunci untuk menciptakan pola penularan dan patogen baru dengan sifat genetik yang lebih baik dan menghasilkan interaksi yang stabil antara patogen-inang-lingkungan.
Keterkaitan tiga faktor di atas dapat dijelaskan sebagai berikut pertama, munculnya penyakit dipengaruhi oleh kemampuan invasif patogen, yaitu kemampuan patogen untuk muncul. Kondisi ini ditentukan oleh kombinasi sifat-sifat patogen, termasuk kemungkinan dan tingkat mutasi (Alexander & Day, 2010). Kedua, kemunculan penyakit dipengaruhi oleh kerentanan kondisi inang, dalam hal tubuh individu, struktur populasi, komposisi komunitas dan ketahanan terhadap invasi patogen (Slingenbergh, Gilbert, Balogh, & Wint, 2004). Ketiga, kemunculan penyakit dipengaruhi oleh peran lingkungan tempat hidup inang dan patogen, terutama, peran suhu dan kelembaban dalam mendukung kelangsungan hidup inang maupun patogen (Pellegrini & Hartland, 2017).
Secara rinci dalam laporan Engering, Hogerwerf, & Slingenbergh (2013). dijelaskan bahwa dalam kondisi pertama, patogen dapat melakukan kontak lebih dekat dengan jenis inang baru, baik itu manusia, hewan peliharaan atau satwa liar. Peningkatan jumlah patogen dapat terjadi akibat pencampuran inang dengan patogen secara intens, dalam banyak kasus dapat menjadi progresif ketika inang baru bertemu patogen baru. Kondisi yang mempercepat masuknya patogen baru ke inang adalah perburuan dan konsumsi daging atau hewan liar, penebangan hutan atau bentuk-bentuk lain dari perambahan manusia terhadap hutan dan cagar alam serta peningkatan kontak antar spesies, antara manusia dan hewan peliharaannya serta dalam produksi hewan sebagai bahan konsumsi. Kasus COVID-19 menunjukkan hal ini dengan jelas, di mana, coronavirus baru (SARS-CoV-2) teridentifikasi menyerang manusia pertama kali ketika mereka mengkonsumsi dan berinteraksi dengan hewan liar seperti kelalawar, ular dan trenggiling di pasar rakyat Wuhan, Cina pada bulan November 2019 lalu (Jiang, Du, & Shi, 2020; Sun, Karuppiah, Kumar, & He 2020).
Berikutnya dalam kondisi kedua, patogen dapat mengembangkan sifat-sifat baru saat beredar dalam inangnya. Kunci dari dinamika ini adalah bahwa sifat patogen yang memungkinkan mereka untuk bermutasi dan berkembang biak secara masal. Pemeliharaan hewan dalam jumlah banyak, interaksi antar inang dan penggunaan antimikroba dan vaksin dapat menghasilkan lompatan virulensi dengan presentasi kejadian kasus penyakit yang ditimbulkan patogen yang meningkat pada manusia. Dalam kasus SARS-CoV-2 dikonfirmasi terjadi lompatan evolusioner dari hewan ke manusia alih-alih seharusnya terjadi penularan antar sesama hewan (Dhama et al., 2020).
Sedangkan pada kondisi ketiga, penyakit dapat muncul di daerah dan lanskap baru, sebagai hasil dari redistribusi patogen dan inang. Faktor kunci dalam ekspansi geografis ini adalah kesesuaian lanskap bagi penyakit untuk hidup dan berkembang. Iklim, cuaca dan juga perubahan penggunaan lahan mungkin berperan sebagai pendorong lainnya. Lompatan geografis secara umum difasilitasi oleh perjalanan internasional, perdagangan dan lalu lintas. Studi yang berkaitan dengan kondisi ini juga terlihat dalam pandemik SARS-CoV-2 di mana, pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) mengatakan SARS-CoV-2 sebagai kasus pandemi karena telah menyebar ke beberapa negara atau benua dan menjangkiti banyak orang.
Perlu perhatian serius dan kerja panjang
Kondisi yang dialami masyarakat global yang berkaitan dengan pandemi SARS-CoV-2 adalah sebuah pelajaran penting dan berharga. Kita harus memikul “kutukan pandemi” ini sebagai dari “dosa ekologi” yang telah kita buat. Jika berhasil keluar dari “kutukan” ini, kita mesti secara serius memetakan ulang cara pandang kita terhadap persoalan lingkungan. Segresi yang luas diantara kebijakan kesehatan dan lingkungan yang selama ini kita praktikan adalah sebuah delusi yang berbahaya.
Kesehatan kita sepenuhnya bergantung pada lingkungan dan organisme lain tempat kita hidup di planet ini, berbagai laporan yang dihimpun dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa seharusnya tindakan yang kita butuhkan untuk memerangi persoalan lingkungan adalah tindakan yang sama, yang kita butuhkan untuk membuat orang lebih sehat saat ini. Sebagai solusi, setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu kita perhatikan. Kita perlu melakukan banyak investasi cerdas untuk mencegah wabah terjadi. Para pemangku kebijakan (pemerintah, masyarakat, tokoh masyarakat dan organisasi sosial) harus bekerja sama mendukung upaya kesehatan masyarakat berbasis lingkungan.
Ada beberapa hal penting yang mesti kita perhatikan dalam upaya mengurai persoalan lingkungan dan kesehatan seperti:
1) Memperbanyak kegiatan penelitian dan pengujian yang berkelanjutan, menyeluruh dan terjadwal untuk melihat dampak persoalan lingkungan terhadap kesehatan manusia yang masih sangat sedikit saat ini. Pendanaan di sektor ini perlu menjadi prioritas.
2)Mencegah pandemi berikutnya. Misalnya, menghilangkan deforestasi yang dapat mencegah perubahan iklim, membantu membendung hilangnya keanekaragaman hayati serta memperlambat migrasi hewan yang dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular. Epidemi COVID-19 baru-baru ini di mungkin terjadi karena sebagain hewan liar, yang membawa penyakit, telah dipaksa untuk pindah ke habitat baru karena hutan tempat mereka tinggal telah rusak atau hilang.
3) Memikirkan kembali praktik pertanian kita berbasis bahan kimia secara berlebihan yang merusak ekosistem alam.
4) Secara drastis mengurangi emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil seperti batu bara minyak, dan gas alam. Menghasilkan listrik dari sumber energi rendah karbon seperti angin dan matahari mengurangi polutan udara berbahaya seperti nitrogen oksida, belerang dioksida dan karbon dioksida yang menyebabkan lebih banyak serangan jantung, stroke, obesitas, diabetes, dan kematian dini. Mengurangi polusi udara juga membantu menjaga kesehatan paru-paru kita, yang dapat melindungi kita dari infeksi pernafasan seperti coronavirus baru-baru ini. Melalui berbagai upaya serius dan berkelanjutan semacam di atas sudah barang tentu akan menghapus atau minimal meringankan “dosa ekologi” kita serentak dapat menghalau “kutukan pandemi” yang berulang. Meski ini terdengar sulit, mengingat kita tidak pernah berubah sikap. Dalam rentang sejarah, kita telah dihukum dengan banyak penyakit yang menglobal dan ditularkan dari hewan seperti HIV, ebola, SARS, MERS dan flu burung tetapi tidak ada yang berubah dari cara kita bersikap terhadap lingkungan hingga kini. Kerja kita masih panjang memang.