Masyarakat modern seperti saat ini ternyata tidak mampu melepaskan diri dari tuntutan berorganisasi karena melalui organisasi orang menspesealisasikan diri pada bidang tertentu. Masyarakat mengembangkan berbagai jenis organisasi, seperti perusahaan, sekolah, lembaga pemerintah, rumah sakit, parpol, militer, organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM, dan lain-lain.
WALHI sendiri merupakan forum kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi non-pemerintah/Non Government (Ornop/NGO), Kelompok Pecinta Alam (KPA) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1980 sebagai reaksi dan keprihatinan atas ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan sumber-sumber kehidupan, sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan yang tidak memihak keberlanjutan dan keadilan. keberadaan WALHI tak bisa dilepaskan dari salah seorang tokoh yang ada di Indonesia yaitu Emil Salim. Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Soeharto, Emil Salim mengadakan pertemuan dengan beberapa kawannya, yaitu Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir. Rio Rahwartono (LIPI), dan Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. Bukan hanya itu tujuannya, tetapi Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena ia melihat bahwa lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia.
Kondisi lingkungan yang mulai mengkhawatirkan membuat pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup yaitu Emil Salim, mulai melirik kelompok – kelompok NGO dan pecinta alam lainnya untuk membantu menyelesaikan masalah lingkungan. Alasan di pilihnya kelompok – kelompok ini dikarenakan kedekatan dengan masyarakat, sehingga pada prosesnya nanti tidak mengalami kendala. Hal pertama yang dilakukan ialah diadakanlah sebuah pertemuan. Pertemuan tersebut dilakukan di Balaikota (Kantor Gubernur DKI Jakarta). Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 350 lembaga yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta alam, agama, riset, kampus, jurnalis, dan lain sebagainya.
Setelah mengadakan pertemuan maka muncullah kesepakatan untuk memilih sepuluh NGO yang akan membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan hidup dengan membentuk organisasi awal. Agar tidak ada persepsi bahwa organisasi ini adalah sebagai organisasi politik, maka namanya dilengkapi dengan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup yang dideklarasikan pada 23 Mei 1978 di Balaikota.
Kelompok Sepuluh ini merupakan wadah untuk tukar informasi, tukar pikiran, dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan hidup di Indonesia maupun lingkungan hidup di dunia, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya.
Kelompok 10 menjadi wadah tukar informasi, tukar pikiran dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan hidup di Indonesia maupun dunia. Adapun anggota kelompok 10 yaitu :
- Ikatan Arsitek Landsekap Indonesia (IALI), Ketua: Ir. Zein Rachman.
- Yayasan Indonesia Hijau (YIH), Ketua: Dr. Freud Hehuwed.
- Biologi Science Club (BCS), Ketua: Dedy Darnaedi.
- Gelanggang Remaja Bulungan, Ketua: Bedjo Raharjo.
- Perhimpunan Burung Indonesia (PBI), Ketua: H. Kamil Oesman.
- Perhimpunan Pecinta Tanaman (PPT), Ketua: Ny. Mudiati Jalil.
- Grup Wartawan Iptek, Ketua: Soegiarto PS.
- Kwarnas Gerakan Pramuka, Ketua: Drs. Poernomo.
- Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (HUKLI), Ketua: George Adjidjondro.
- Sekolah Tinggi Publistik, Ketua: Srutamandala.
Atas prakarsa kelompok 10, dan dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono IX lewat Indonesia Wildlife Fund, dibicarakan kemungkinan pertemuan ornop yang lebih besar untuk menindaklanjuti keberadaan organisasi kelompok 10 tersebut. Lalu di adakanlah sebuah pertemuan ornop yang cukup besar kala itu. Pertemuan itu berlangsung pada tanggal 13 – 15 Oktober 1980, di Gedung YTKI bersamaan dengan berlangsungnya Konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) se-Indonesia. Pertemuan tersebut diikuti oleh 130 orang peserta dari 78 organisasi dari tiga kelompok, yaitu kelompok organisasi masyarakat (agama, sosial), organisasi pecinta alam, dan organisasi profesi.
Tidak hanya kelompok Sepuluh yang tampak antusias dalam mengikuti acara tersebut, namun juga beberapa departemen. Emil mengatakan bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk bertukar pikiran agar organisasi kelompok ini dapat ikut aktif dalam pengembangan lingkungan di Indonesia. Di pihak lain, PPLH, Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian dapat bekerjasama sehingga kelompok organisasi ini menjadi semacam “jembatan” antara aparatur Pemerintah dengan masyarakat dalam menangani masalah lingkungan hidup. Pada akhir pertemuan yaitu tanggal 15 Oktober 1980, diadakanlah sidang pleno untuk menetukan nama organisasi yang akan mewadahi seluruh peserta ornop tersebut. Erna Witoelar dan Wicaksono Noeradi yang merupakan peserta pertemuan itu menawarkan sebuah nama yaitu dengan awal Wahana. Lalu para peserta menyambut tawaran nama Wahana tersebut dengan antusias yang tinggi. Lalu dikarenakan organisasi tersebut akan bergerak pada bidang lingkungan hidup maka ornop sepakat memberikan tambahan Lingkungan Hidup Indonesia pada akhir nama Wahana tersebut sehingga jadilah nama organisasi tersebut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan disingkat menjadi WALHI. Selain memutuskan pembentukan Wahana Lingkungan Hidup dengan mengadakan musyawarah periodik setiap dua tahun, juga dipilih sembilan anggota presidium periode 1980 – 1982 yang diketuai oleh Zen Rachman, dengan sekretaris eksekutif, Ir. Erna Witoelar.
Ketakutan indoktrinasi pemerintah ditandai dengan kesepakatan aktivis ornop untuk menetapkan tiga asas organisasi non pemerintah (ornop) yang bergabung dengan WALHI, yaitu asas mandiri, bekerjasama tanpa ikatan, dan bekerja nyata bersama dan untuk masyarakat. Selain itu, dalam pertemuan tersebut, juga sudah muncul kesadaran bahwa intervensi pemerintah dalam NGO mencerminkan iklim demokrasi yang ada di Indonesia. Untuk itulah, dibutuhkan kepekaan untuk membaca persepsi masyarakat, agar program yang dijalankan sesuai dengan keinginan rakyat.
Untuk itulah para aktivis LSM itu mendeklarasikan WALHI dalam bentuk forum sebagai bentuk yang paling dapat diterima saat itu, yaitu forum LSM lingkungan dengan sifat keanggotaan yang egaliter dan longgar, dan berperan sebagai forum komunikasi. Untuk memudahkan koordinator WALHI membentuk presidium yang dijalankan oleh seorang sekretaris eksekutif. Tugas presidium pertama WALHI dalam masa dua tahun kepengurusannya, terutama melakukan fungsi-fungsi kehumasan organisasi. Pada tanggal 18 Oktober 1980, tiga hari setelah deklarasi WALHI, para aktivis ini diundang ke istana (Bina Graha) oleh Presiden Soerharto. Presiden Soeharto mengatakan bahwa tidak semua pekerjaan kelestarian lingkungan hidup dapat dikerjakan oleh pemerintah. Dengan adanya swadaya masyarakat untuk penanggulangan lingkungan hidup, maka akan dapat dijalankan lebih cepat usaha-usaha pelestarian yang sudah multak perlu.
Kelahiran WALHI sebagai sebuah forum mempunyai kekuatan cukup besar, secara bertahap di tahun 1983 jumlahnya sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini membuat pemerintah harus selalu ‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI. Kondisi sosial politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.
Gerakan WALHI di awal kepengurusannya dimulai dengan aksi public relation, yaitu memperkenalkan WALHI ke seluruh elemen, baik pemerintah, perusahaan, pers, mahasiswa, para artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh WALHI. Di tahun-tahun pertama, peran WALHI adalah melakukan public awareness kepada masyarakat tentang isu-isu lingkungan. WALHI menyebutnya dengan periode menggugah atau membangunkan kembali banyak pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. Hal tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan pendidikan lingkungan di berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu lingkungan dengan para seniman. Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah edukasi, yaitu memberikan pendidikan konservasi alam di beberapa kampus, dan melakukan seminar tentang lingkungan, mengadakan berbagai perlombaan.
Perlahan WALHI mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah. WALHI mendapatkan legitimasinya sebagai representasi LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam pembahasan UU Lingkungan Hidup. Tahun 1982, WALHI bersama-sama lembaga swadaya masyarakat lainnya membahas dan memberikan masukan bagi penyusunan Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingungan Hidup/Undang-undang No.4 Tahun 1982.
Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan dukungan penuh dari pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah itu sehingga menguasai suara parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam negeri yang menunjukkan dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih dalam Pemilu. Pemerintah bersikap menyambut tumbuhnya LSM lingkungan, terutama yang bergabung dalam forum WALHI, karena dianggap steril dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan WALHI sering tarik ulur. Wacana yang berkembang dari beberapa diskusi LSM pertengahan 1980-an jelas menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan lingkungan antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah. Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang dianggap kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling lunak, dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat.
Pada periode 1986 – 1989 merupakan periode pematangan dan peningkatan kualitas peran WALHI. Periode ini diarahkan untuk Environmental Awereness Raising di kalangan LSM dan masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan back up data untuk mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja advokasi berikutnya. Kampanye yang dilakukan WALHI tidak hanya mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga media massa. Media Massa mulai memberi dukungan dengan mulai menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu-isu utama termasuk liputan pencemaran Merkuri di Teluk Jakarta tahun 1980 yang menjadi berita sampul majalah Tempo. Sudah ada kesadaran tinggi di kalangan LSM bahwa wartawan dan media massa memegang peranan yang penting sebagai corong kegiatan lingkungan.
Tahun 1996, pertama kalinya WALHI membuat laporan tahunan yang komprehensif dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Ini bertujuan untuk membuka seluas-luasnya WALHI kepada masyarakat. Keterbukaan bagi WALHI sangat penting karena masih ada tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa WALHI condong pada kepentingan luar negeri (asing) dan bukan kepada rakyat. Dari apa yang dilaporkan, masyarakat bisa mengetahui apakah WALHI condong pada kepentingan asing atau kepada kepentingan lingkungan dan demokratisasi di Indonesia.
Pertumbuhan organisasi membutuhkan ruang hidup dan ruang gerak yang cukup. Pertumbuhan membawa konsekuensi perkembangan dalam keragaman isu dan gerakan. Dalam mencapai tujuannya, mengembalikan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam, langkah WALHI dengan tidak kompromi terhadap berbagai perusak lingkungan tidak cukup, karena semua itu ditentukan oleh berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah. WALHI melakukan reposisi dan memutuskan masuk dalam advokasi, yaitu melakukan perubahan kebijakan lingkungan hidup setelah PNLH III. Dengan pilihannya ini, gerakan WALHI semakin nyata, bahwa ia bukan berada pada ‘garis luar’ namun secara terus menerus memberikan masukan, kritik, atau melakukan protes keras terhadap kebijakan pemerintah, baik yang sudah ada maupun yang sedang dibahas.
Sejalan dengan hal tersebut, sikap kritis WALHI terus terasa melihat berbagai kebijakan dan eksploitasi sumber daya alam yang merugikan masyarakat. Kampanye terhadap dampak pertambangan di PT. Freeport Indonesia mengawali langkah WALHI dalam hard campign, di mana sikap tegas dan tidak kompromi terhadap perusak lingkungan menjadi ciri khas WALHI selanjutnya.
Pada tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mulai mengkampanyekan tentang Reformasi Lingkungan Hidup fokus pada hal-hal makro yang meliputi kebijakan lingkungan dan kelembagaan lingkungan. Kebijakan tersebut dilandasi oleh pernyataan bahwa kebijakan lingkungan harus memenuhi rasa keadilan, melindungi lingkungan, dan bisa dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan dalam hal kelembagaan didasarkan pada kelembagaan yang dibangun dan dikembangkan agar dapat menjalankan kebijakan tersebut.
Dalam melakukan advokasi, tidak jarang WALHI harus berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan besar. Akhir tahun 1988, ketika pertama kalinya forum ini menggugat pemerintah dan memasukkan nama menteri lingkungan hidup dalam daftar para tergugat. Saat itu, George Aditjondro dengan terburu-buru menyatakan bulan madu Emil Salim dan LSM sudah berakhir. Emil Salim saat itu tidak berdaya karena Soeharto terlebih B.J. Habibie juga memberikan ijin. Bulan Desember 1989, Walhi memutuskan untuk menggugat enam pejabat negara karena mengijinkan pembangunan pabrik pulp dan rayon, PT Inti Indorayon Utama di Porsea. Kasus ini pertama kalinya NGO melakukan legal standing. Ini merupakan catatan pembaharuan hukum acara di Indonesia, karena sebelumnya Indonesia menganut “asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum”. Saat itu, kepentingan hukum biasanya dikaitkan dengan kepentingan kepemilikan atau kerugian yang dialami langsung oleh penggugat. Dalam perkembangannya, setelah beberapa kali WALHI mengajukan gugatan, akhirnya legal standing WALHI diterima di Pengadilan. Meskipun dari pengalaman beberapa sidang di pengadilan, legal standing WALHI selalu saja diperdebatkan. Namun, dalam perjalanannya, akhirnya legal standing LSM ini diakomodir dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diartikan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan.