Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menggelar konferensi pers daring pada Selasa, 18 November 2025, pukul 13.00–15.00 WITA. Acara yang mengangkat tema “ALTERA! Merespon Rencana Pembangunan Markas Batalyon TNI AD di Tanamalia” ini dipandu oleh Zulfaningsih HS, Kepala Divisi Perlindungan Ekosistem Esensial WALHI Sulawesi Selatan, yang bertindak sebagai moderator.
Konferensi pers ini menghadirkan perwakilan masyarakat Loeha Raya, yaitu Pak Radit, yang memberikan penjelasan langsung terkait situasi di lapangan.
Dalam forum tersebut, WALHI Sulawesi Selatan mendengar laporan warga mengenai meningkatnya kekhawatiran akibat klaim pembangunan Markas Batalyon TNI AD di atas kebun merica masyarakat. Warga menegaskan bahwa lahan tersebut merupakan sumber penghidupan utama, ditambah konflik yang telah berlangsung sejak 2022 akibat upaya PT Vale melakukan eksplorasi tanpa pelibatan masyarakat.
Pak Radit memaparkan bahwa plan atau spanduk rencana pembangunan batalyon telah terpasang di beberapa titik tanpa adanya sosialisasi resmi.
“Sudah ada tiga titik pemasangan spanduk di kampung Lengkona. Itu didirikan tanpa ada penyampaian ke masyarakat. Warga di sini punya hak untuk berkebun. Selama ini kami memanfaatkan tanah itu untuk hidup,” jelas Pak Radit.
Ditambah lagi, ketiadaan informasi yang jelas dari Pemerintah Kabupaten Luwu Timur juga menambah kebingungan masyarakat, karena data lokasi pembangunan yang disampaikan pemerintah berbeda dengan kabar yang beredar di lapangan. Situasi ini memicu keresahan yang meluas di sejumlah desa sekitar.
Arfiandi Anas, Kepala Divisi Hukum dan Politik Hijau WALHI Sulawesi Selatan, menyoroti bahwa konflik ini tidak dapat dipisahkan dari program nasional pemerintahan Presiden Prabowo terkait pembangunan batalyon baru. Ia menekankan bahwa kebijakan pembangunan, apa pun bentuknya, tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat, aspek sosial, serta keberlanjutan ekologis.
Arfiandi menegaskan “bahwa UU TNI mengatur secara jelas fungsi dan kewenangan militer, termasuk batasan dalam urusan sipil dan bisnis. TNI tidak boleh ditempatkan pada posisi yang membuatnya berhadapan dengan masyarakat. dan Kehadiran aparat negara seharusnya membawa rasa aman, bukan ketakutan.”
Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, menegaskan bahwa persoalan ini harus segera dihentikan. Menurutnya, ada dua pihak yang harus mendengar secara serius suara masyarakat Loeha Raya, yaitu Panglima TNI dan PT Vale Indonesia.
Amin menyatakan “Kami meminta Panglima TNI untuk menghentikan dan meninjau ulang rencana pembangunan Batalyon TNI AD di Tanamalia atau pegunungan Lumereo.
Pertama, tidak ada potensi terorisme atau ancaman kedaulatan negara di Tanamalia—semua aktivitas hanyalah masyarakat yang bercocok tanam.
Kedua, kepada PT Vale Indonesia, sudah sangat tidak benar jika konsesi yang diklaim PTVI disebut diberikan kepada TNI untuk pembangunan batalyon. PT Vale tidak boleh melibatkan aparat TNI dalam seluruh aktivitas pertambangannya.”
Konferensi pers ditutup dengan penegasan bahwa WALHI Sulawesi Selatan bersama masyarakat Loeha Raya berharap forum ini menjadi langkah penting untuk: mendorong transparansi informasi, menghentikan seluruh bentuk intimidasi terhadap masyarakat, dan memastikan bahwa hak-hak konstitusional warga Loeha Raya tetap terlindungi. WALHI Sulawesi Selatan mengajak seluruh pihak yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang benar-benar berpihak pada keselamatan warga, dan keadilan lingkungan.






