Menjelang pergantian tahun, Senin, 27 Desember 2021, WALHI Region Sulawesi menggelar konferensi pers Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2021 bertajuk ‘Red Alert, Nickel Sulawesi. WALHI Region Sulawesi terdiri dari WALHI Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Dalam Konferensi Pers ini, pembicara pertama yakni Theo Runtewene selaku Direktur Eksekutif Daerah Sulawesi Utara menjelaskan bahwa situasi di Sulawesi Utara saat ini sudah sangat genting akibat dijadikannya provinsi ini sebagai pintu gerbang kawasan pasifik.

“Sulut sekarang merupakan daerah prioritas pembangunan nasional sehingga Sulut akan dilakukan begitu banyak proyek strategis. Beberapa diantaranya yakni kawasan ekonomi khusus dan pembangunan pelabuhan internasional sebagai jalur keluar-masuk melalui Pelabuhan Bitung. Sehingga, nantinya berbagai bentuk perusakan lingkungan hidup akan begitu nyata kedepan”, tambahnya.

Selanjutnya, pembicara kedua, Saharuddin selaku Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tenggara menjelaskan bahwa saat ini ekspansi pertambangan nikel di Sulawesi tenggara benar-benar telah menghacurkan wilayah kelola rakyat pesisir.

“Mereka yang menggantungkan hidupnya di laut sangat terancam dikarenakan sedimentasi di wilayah pesisir akibat aktivitas pertambangan nikel. Saat ini, di Pulau Wawoni, dari 17 IUP yang ada sisa 7 IUP yang masih aktif beroperasi. Ini dikarenakan banyaknya penolakan lantaran warga lebih sejahtera tanpa adanya pertambangan di wilayah mereka”, ujarnya.

Sunardi Katili selaku Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tengah sebagai pembicara ketiga dalam konferensi pers ini menjelaskan bahwa Indonesia kini telah menjadi pemasok bahan baku dalam industri global, tapi tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

“Untuk di Sulawesi Tengah sendiri, dampak dari adanya pengolahan nikel yang ada di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yaitu ekosistem laut mengalami pencemaran akibat pembuangan limbah tailing yang berdampak rusaknya terumbu karang dan berimbas terhadap kehidupan nelayan di pesisir. Ini akibat dari sedimentasi yang terbawa air hujan mempengaruhi ekosistem mangrove yang selama ini digunakan sebagai wilayah penangkaran kepiting sejak bertahun-tahun”, tutupnya.

Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Sulawesi Tengah. (Sumber Dok. WALHI Sulteng)

Terakhir, Muhammad Al Amin selaku Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Selatan merupakan pembicara dan sekaligus merangkum potret dan dampak ekspansi pertambangan di Sulawesi menjelaskan bahwa saat ini 52% cadangan nikel dunia ada di Indonesia. Hal tersebut membuat pemerintah turut menggenjot produksi nikel untuk kepentingan mobil listrik.

“Seharusnya, pemerintah mempertimbangkan secara matang, apakah hendak melancarkan ambisinya sebagai negara produsen nikel terbesar ataukah ingin menjaga ruang hidup masyarakat. Coba dipikirkan, saat ini IUP tambang di Sulawesi luasnya mencapai 690.442 ha yang berada dalam wilayah esensial. Bahkan, pemerintah dalam hal ini KLHK ternyata telah melepas kawasan hutan seluas 48.821,98 ha menjadi wilayah pertambangan melalui IPPKH untuk 74 perusahaan”, jelasnya.

Muhammad Al Amin, dalam konferensi pers WALHI Region Sulawesi juga menambahkan bahwa kondisi eksisting luasan IUP nikel di Pulau Sulawesi terdiri dari 87.556 ha di Sulsel, 92.604 ha di Sulteng, dan 510.282 ha di Sultra.

“Khusus untuk di Sulsel terdapat 7 perusahaan nikel yang telah mendapatkan IUP. Dampaknya, telah terjadi pencemaran dan sedimentasi sangat parah di Danau Mahalona, sungai, pesisir, Laut, dan Pulau Mori di Luwu Timur”, tambahnya.

Wilayah Lingkar Tambang PT.VALE yang begitu dekat dengan pemukiman warga (Dok. WALHI Sulsel)

Selain itu, Amin juga menjelaskan bahwa sudah banyak perusahaan yang telah melakukan pencemaran namun tidak dilakukan upaya penegakan hukum bagi pihak kepolisian. Mestinya kepolisian melakukan penindakan terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran lingkungan.

“Jangan sampai kita telah bangga menggunakan kendaraan listrik namun tidak diketahui bahwa energi listrik tersebut berasal dari perampasan ruang hidup dan penghancuran ekosistem esensial di Sulawesi”, tutupnya.

Terakhir, para Direktur Eksekutif Daerah WALHI Region Sulawesi juga menyatakan bahwa kemajuan peradaban tanpa lingkungan hidup yang baik dan sehat tetap akan menimbulkan bencana. Olehnya itu, WALHI Region Sulawesi akan tetap mengkampanyekan secara lokal, nasional, dan internasional terkait daya rusak ekspansi pertambangan nikel bagi lingkungan hidup dan masyarakat di Pulau Sulawesi.

Adapun tuntutan WALHI Region Sulawesi dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2021 ini yakni:

  1. Moratorium Tambang Nikel di Sulawesi
  2. Tinjau Ulang Izin-izin tambang Nikel di Sulawesi.
  3. Selamatkan hutan tropis Sulawesi
  4. Selamatkan rakyat (perempuan) Sulawesi