Oleh: Altriara Pramana Putra Basri, Koordinator Divisi Advokasi LAPAR Sulsel*
Perkenalan Singkat
“Apa dicari daeng?”, ucapku kepada seorang warga sedang berjalan kaki di pinggiran pantai Pulau Lae-lae, ia sembari memikul pukat ikan di punggungnya. “Lagi melihat-lihat ikan di permukaan laut” jawabnya. Setelah obrolan singkat, saya pun berkenalan. Namanya Asri Daeng Bahar, di pulau ia sering disapa Rizal.
Hari itu ia sedang berjalan kaki di pinggiran pantai, mengelilingi pulau mencari ikan. Secara kebetulan kami bertemu di pinggir pantai, tujuanku ke pantai sebenarnya ingin berenang, sementara Pak Asri yang sudah berkeluarga dan memiliki dua anak tentu mencari nafkah. 30 menit telah berlalu, dengan mengandalkan indera penglihatan, tak satupun ikan yang dicari Pak Asri muncul ke permukaan laut.
Tak lama kemudian tatapan Pak Asri tajam ke permukaan laut tepat di samping pantai, sambil berkata “yang warna merah itu ambaring”, sejenis udang kecil-kecil. Masyarakat Pulau Lae-Lae sering menyebutnya dengan bahasa lokal yaitu ambaring. Saya bergegas mengambil alat tangkap ambaring yang tak jauh dari posisi kami berdua. Dari situlah saya mulai memahami cara mengoperasikan alat tangkap ambaring yang disebut oleh nelayan ‘Dori Bandong”.
Alat tangkap tradisional yang dirakit khusus oleh nelayan untuk menangkap ambaring, terbuat dari bambu dengan panjang 3,5 meter, ditengahnya terdapat jaring hitam. Tak butuh waktu lama, setengah kantong plastik hitam terisi oleh ambaring, bagi saya ini cukup untuk lauk makan malam bersama teman-teman. Tetapi bagaimana dengan daeng Asri, berjam jam mengelilingi pantai namun pukatnya pun tak kunjung basah.
Siasat di Musim Barat
Nelayan Pulau Lae-Lae mengenal dua musim, musim kemarau dan musim penghujan. Nelayan menyebut musim penghujan dengan istilah “musim barat”, ombak dan angin kencang menghantam pesisir barat pulau. Jika di musim kemarau aktivitas melaut nelayan pancing begitu intens, wilayah tangkap mudah dijangkau, maka dimusim barat aktifitas nelayan memancing ikan terbatas, itu pun memancing hanya di sekitar pulau , cuaca turut mempengaruhi nelayan untuk menjangkau wilayah tangkap mereka
Nelayan pulau memprediksi durasi musim barat dan musim kemarau dari pengetahuan serta pengalaman yang dimiliki. Cara-cara tradisional untuk mengetahui cuaca laut dan sarang ikan masih dipraktekan oleh nelayan Pulau Lae-Lae. Dengan mengandalkan panca indera dan ilmu rasa, Bulan, bintang, awan, angin serta daratan menjadi patokan nelayan pulau dalam melaut.
Bulan Desember hingga Maret musimnya angin barat, nelayan hanya mencari penghasilan di sekitar perairan pulau Lae-lae, mancing cumi-cumi di malam hari, mencari ambaring dari subuh hingga pagi dan ada pula dari siang hingga sore menyisir laut sekitaran pulau menggunakan pukat. Adapun yang memancing ikan jaraknya tak jauh dari pulau.
Pak Asri misalnya, ia tidak memiliki perahu/Lepa-lepa. Seorang nelayan hidup di sebuah pulau namun tak memiliki perahu, ibarat petani tak bertanah. sesekali ia harus menjadi buruh nelayan di perahu milik juragan, itupun hasilnya dibagi tiga, Daeng Asri, juragan dan juga perahu. Sejak usianya belasan tahun ia sudah mencari ambaring, kini usianya sudah menginjak 41 tahun, ambaring tetap menjadi mata pencahariannya ketika dimusim barat.
Bagi Pak Asri, musim barat bukan menjadi penghalang untuk tetap melaut mencari nafkah. Musim barat merupakan musimnya ambaring, di bulan Desember hingga bulan Maret kita mudah menjumpai nelayan mencari ambaring, bahkan dengan berjalan kaki di pesisir pantai dan laut dangkal ambaring mudah didapat oleh Pak Asri. “Yang penting kaki mau basah”, sebuah istilah yang sering diucapkan oleh nelayan Pulau Lae-Lae untuk menggambarkan begitu sederhananya dalam mencari nafkah.
Harga ambaring yang tak menentu, membuat Pak Asri dan istrinya berinisiatif sebagai pengrajin sejenis alat tangkap nelayan yang digunakan saat memancing ikan, nelayan pulau menyebutnya dengan istilah lokal “Purupurukang”. Alat tangkap ini menggunakan umpan ambaring.
Langkah ini tentunya berangkat dari kondisi ekonomi keluarga Pak Asri, membentuk siasat ekonomi untuk menjawab kebutuhan hidup. Istrinya memiliki peran strategis dalam pembuatan purupurukang, 25 purupurukang mampu dijahit olehnya dalam sehari, satu purupurukang dijualnya seharga 300 rupiah. Jika telapak kaki Pak Asri menyusuri pantai Pulau Lae-Lae dengan pukat ikan di punggungnya, maka Istri dengan jari-jemarinya merakit benang nilon untuk membentuk purupurukang.
Tak ada perjumpaan paling mulia, yaitu tenaga kerja yang tercurahkan ke dalam proses produksi keluarga kecil ini. kemuliaan ini dalam bayang-bayang reklamasi , pulau yang kaya akan sumber daya laut sedang dalam ancaman.
“REKLAMASI” dan Penghancuran Ruang Hidup
Di sebelah barat Pulau Lae-Lae dengan nampak bentangan panjang pasir putih. Perahu nelayan berbaris rapi di sempadan pantai tersebut. Di musim barat, sempadan pantai menjadi tempat teraman bagi perahu nelayan, jaraknya pun tak jauh dari pemukiman nelayan.
Selain terhindar dari hantaman ombak yang keras dan angin yang begitu kencang, nelayan turut melakukan pengecekan kondisi perahu, perawatan perahu, bahkan ada yang membuat perahu baru di sempadan pantai sebelah barat Pulau Lae-Lae. Pak Jupri misalnya, salah satu nelayan Pulau Lae-Lae yang memanfaatkan sempadan pantai sebagai tempat untuk mengamankan perahu miliknya ketika di musim barat.
Saya mencoba untuk mengelilingi Pulau Lae-Lae, hanya di sebelah barat dan utara pulau yang masih terdapat sempadan pantai. Reklamasi yang direncanakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berada tepat di sebelah barat Pulau Lae-Lae seluas 12,11 ha. Luasan reklamasi melampaui luasan Pulau Lae-Lae yang hanya 6,5 ha.
Puluhan perahu yang berbaris rapi kini menghadapi ancaman hilangnya sempadan pantai sebelah barat. Jika melihat peta reklamasi yang terdapat di dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), maka sempadan pantai tersebut jelas akan tertutup oleh lahan reklamasi. Sedangkan sempadan pantai di sebelah selatan pulau nampak begitu padat terisi oleh perahu-perahu nelayan.
Bagi Pak Jupri, sempadan pantai sebelah barat pulau menjadi satu-satunya harapan untuk mengamankan perahu miliknya ketika berhadapan dengan kerasnya ombak di musim barat. Selain pak Jupri, puluhan nelayan pun turut menggantungkan nasib perahunya di sempadan pantai sebelah barat Pulau Lae-Lae.
Perahu tetap menjadi pohon hidup bagi nelayan, hubungan perahu, nelayan dan sempadan pantai sebelah barat pulau bukan hanya tentang keamanan perahu, ada budaya nelayan yang selalu dirindukan, kohesi sosial yang melekat di atas sempadan tersebut.
Di sore hari, sempadan pantai menjadi ruang perjumpaan sesama nelayan, mereka bercerita tentang laut, cuaca, perahu, harga ikan, mengerjakan alat pancing, bahkan sesekali mereka menyinggung soal reklamasi, ada pula yang mengerjakan mesin perahu.
Semangat gotong royong di atas sempadan pantai mudah dijumpai. Ketika nelayan yang baru saja tiba melaut, maka nelayan lainnya yang berada di sempadan pantai turut membantu, menarik perahu nelayan yang baru saja tiba keatas sempadan pantai.
Gotong royong seperti ini tanpa ada yang mengkoordinir, tanpa ada yang menyuruh untuk membantu, kesamaan rasa sebagai nelayan menjadi dorongan kuat. Selain mengancam ruang hidup nelayan, reklamasi akan mencerabut akar kebudayaan nelayan yang selama ini terjalin dengan mesra diatas sempadan pantai sebelah barat Pulau Lae-Lae.
Dari sempadan pantai, kita akan bergeser sedikit ke laut 12,11 ha yang akan direklamasi. Laut dan sempadan pantai menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ekosistem kehidupan nelayan Pulau Lae-Lae tak lepas dari dua lokasi tersebut, laut dan sempadan. Laut seluas 12,11 ha berhadapan langsung dengan sempadan pantai sebelah barat Pulau Lae-Lae.
Apa saja yang dicari nelayan di laut yang akan direklamasi? Atau apa saja yang berada di laut seluas 12,11 ha?. Saya mencoba menemui beberapa nelayan, menanyakan hal tersebut, bahkan mengikuti aktifitas nelayan melaut di lokasi yang akan direklamasi. Salah satunya Pak Jupri, selain nelayan ambaring, ia juga nelayan pukat, ketika air surut ia mencari kerang kecil, nelayan Lae-Lae menyebutnya tude, sesekali memancing cumi ketika bulan terang. Jenis nelayannya tidak tetap, tergantung musim dan cuaca.
Di siang hari, iya mulai memikul pukatnya menyusuri sempadan pantai sebelah barat pulau, sambil memandang ke arah laut yang akan direklamasi. Seketika ia turun ke laut dangkal, nampaknya ia melihat ikan sedang bermain di permukaan laut.
Pukat diturunkan melingkari ikan, tak butuh waktu lama, di atas laut 12,11 ha yang akan di reklamasi, seratusan ikan mirah mata, nelayan menyebutnya dengan bahasa lokal cecera mata melekat dipukat Pak Jupri. Saya pun bergegas membantu menarik pukat miliknya.
Selain perahu Pak Jupri yang terancam kehilangan sempadan pantai, pukatnya pun terancam tak bisa lagi melingkari ikan di wilayah tersebut. Kerang kecil yang selalu dicarinya ketika air lagi surut akan tertimbun.
Kelak kerang-kerang kecil akan merindukan sentuhan telapak tangan Pak Jupri, lamun dan batu karang menjadi saksi perjumpaan pak jupri dengan kerang-kerang kecil. Sesulit-sulitnya membangun perjumpaan dengan kerang kecil, dengan mudah tergilas oleh reklamasi yang tak dirindukan.
Di laut seluas 12,11 ha yang akan di reklamasi, masih banyak hal yang bisa nelayan ceritakan, mulai dari pengalaman, pengetahuan serta kebudayaan melekat pada nelayan, masih ada praktik-praktik tradisional nelayan dalam melaut, penanda sarang ikan/rumpon, bahkan ada nelayan yang mampu menandai sarang ikan tanpa ada penanda dalam bentuk fisik, seperti gabus dan sejenisnya di laut yang akan direklamasi.
Selama ini laut yang akan direklamasi menjadi tempat nelayan seperti Pak Asri dan Pak Jupri yang saya ceritakan diatas untuk mencari nafkah, dan masih banyak nelayan lain menjadikan tempat tersebut memiliki fungsi sosial.
Karena jika laut sudah dikomodifikasi, dijadikan sebagai komoditas, fungsi laut secara sosial bergeser menjadi nilai ekonomis semata, akses terhadap laut tak lagi didasari untuk kepentingan bersama, melainkan siapa mampu membayar apa dan kepentingan kelas yang mampu mengaksesnya.
Lapar Sulawesi Selatan Adalah Anggota WALHI Sulawesi Selatan
Tulisan ini pertama kali dipublikasi di website Lapar Sulsel: https://laparsulsel.org/pergumulan-nelayan-lae-lae-di-musim-barat-dan-ancaman-reklamasi/