Saya mengunjungi Barung Lemo di waktu berbeda. Ketika tambang PT Vale melakukan eksplorasi air sungai nampak keruh. Beberapa waktu setelah eksplorasi dihentikan airnya kembali menjadi jernih. Hal tersebut memantik saya menuliskan cerita tentang Mata Air Barung Lemo

***

Merica di Loeha Raya Sebelum Kemerdekaan

Loeha Raya merupakan penamaan wilayah desa sebelum dilakukan pemekaran secara bertahap. Saat ini Loeha Raya terdiri dari lima desa yakni Rante Angin, Bantilang, Tokalimbo, Masiku dan Loeha. Letak geografis lima desa ini berada di sebelah timur Danau Towuti yang merupakan danau terluas kedua di Indonesia yang terletak di Kecamatan Towuti, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh WALHI Sulawesi Selatan diketahui bahwa masyarakat Loeha Raya yang berprofesi sebagai petani ada 3.342 orang. Masyarakat memanfaatkan lahan yang diwariskan secara turun temurun jauh sebelum negara terbentuk.

Salah Satu Muara Sungai ke Danau Towuti di Desa Loeha

Tanah di Loeha Raya merupakan tanah yang subur dengan tekstur gembur berwarna merah gelap. Sangat ideal bagi tumbuh kembang tanaman seperti pohon merica. Aswan salah satu petani kelahiran Loeha Raya turut menceritakan sejarah singkat masuknya merica dengan gerak tubuh seperti aktor monolog dan air muka yang begitu membara:

Di sini (Loeha Raya) sudah ada merica sejak sebelum Republik Indonesia merdeka dari Belanda. Sekitar tahun 1930-an itu tanaman merica sudah mulai ditanam di tempat ini. Namun karena harga yang belum begitu bagus saat itu maka masyarakat tidak fokus pada tanaman tersebut.

Merica bukan komoditas yang baru dikembangkan masyarakat Loeha Raya. Hanya saja minat masyarakat untuk menjadi petani pada saat jaman penjajahan belum banyak. Hal ini tidak jauh dari kebutuhan pasar terhadap merica masih minim. Sehingga masyarakat mencari alternatif lain seperti getah Damar, Rotan, Gaharu, dan Jalapari ketimbang merica seperti sekarang ini.

Barung Lemo/Pondok Jeruk

Ada sebuah kampung di Desa Loeha yang sering disinggahi petani ketika menuju kebun. Nama kampung tersebut adalah Barung Lemo. Dalam Bahasa Indonesia Barung Lemo berarti “pondok jeruk”. Papa Lia sapaan akrab salah seorang petani merica Loeha Raya menjelaskan mengapa wilayah tersebut dinamakan Barung Lemo. Sembari menunjuk kampung Barung Lemo yang didominasi tanaman merica ia bercerita bahwa:

Karena dulunya di sini merupakan lokasi pondok masyarakat untuk beristirahat saat mencari getah damar dan rotan. Di tempat ini juga terdapat banyak jeruk yang biasa digunakan masyarakat untuk mencuci piring saat ada hajatan, makanya disebut Barung Lemo atau pondok yang terdapat banyak pohon jeruk.”

Barung Lemo: Hamparan Kebun Merica Berdampingan dengan Hutan dan Ekosistem Sungai

Sebagai daerah agraris yang mayoritas pekerjaan warganya sebagai petani, maka menjadi lumrah setiap pagi sebelum matahari begitu menyengat di perempatan jalan raya menuju areal kebun ramai dengan kendaraan petani. Pendengaran akan sedikit terusik dengan suara bising motor yang telah dimodifikasi agar kuat melalui jalan kebun yang terjal serta bebatuan, mobil double cabin, bahkan truk lalu lalang dari perkampungan ke areal perkebunan.

Petani disibukkan dengan aktivitas yakni menanam, merawat dan memanen merica sepanjang tahun. Walaupun idealnya dalam setahun, musim panen raya merica berlangsung selama 4-5 bulan. Tepatnya antara bulan November hingga April. Walaupun begitu sebagian besar petani masih tetap dapat memanen merica di luar dari musim panen raya dengan kuantitas terbatas. terhitung cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga meski tidak lagi musim panen. Saat musim panen raya berakhir petani akan tetap sibuk dengan merawat tanaman mericanya agar tak dirusak oleh hama dan gulma.

Mata Air Kehidupan

Tanaman merica seperti halnya makhluk hidup lain membutuhkan air untuk bertahan hidup. Papa Ilham salah satu petani yang tinggal di kampung Barung Lemo (baca: kebiasaan masyarakat loeha Raya menyapa seseorang dengan mengikutkan nama anak pertamanya) menjalani hari-harinya dengan tekun dan sepenuh hati merawat dan memanen merica.

Papa Ilham dan petani lainnya secara sadar menjaga kawasan mata air yang dianggap sumber kesuburan lahan perkebunan merica serta untuk memenuhi kebutuhan primer terhadap air dalam kehidupan mereka. Di Barung Lemo sendiri terdapat banyak mata air yang masih terjaga dengan lebatnya tanaman pohon rimbun disekitar mata air. Bukan tanpa perhatian dan kepedulian manusia, Papa Ilham begitu tahu jika mereka membuka lahan di sekitaran mata air maka sama halnya akan merusak mata air tersebut. Mata air itu tak hentinya terus mengeluarkan air sepanjang tahun, bahkan jika saat kemarau panjang dan tempat lain kesulitan air, masyarakat Loeha Raya tetap terpenuhi kebutuhan air bersihnya tanpa ada kendala apapun. Selain itu banjir juga hampir tak pernah terjadi di daerah mereka karena tanah gembur dan tumbuhan sebagai penopang ekosistem masih dalam kondisi prima menjadi alasan utamanya.

Papa Ilham Sedang Menunjukan Salah Satu Mata Air di Kampungnya

Air Mata Ketakutan

Akhir tahun 2022 merupakan awal munculnya rasa khawatir dan ketakutan Papa Ilham juga petani lainnya atas keberlangsungan satu-satunya sumber penghidupan utama mereka. Kekhawatiran besar itu berupa ancaman kerusakan mata air yang mereka jaga selama ini dan kebun merica masyarakat. Hal ini dikarenakan dua perusahaan kontraktor pertambangan nikel PT Vale Indonesia Tbk. telah memulai kegiatan eksplorasi di kawasan perkebunan masyarakat Barung Lemo. Tak hanya Barung Lemo, dua perusahaan kontraktor yaitu PJU dan SSU menjamah perkebunan merica dengan kegiatan eksplorasi tanpa konsultasi publik sebelumnya dengan petani di Desa Loeha dan Rante Angin.

Papa Ilham tahu betul eksplorasi oleh dua kontraktor PT Vale Indonesia Tbk. merupakan kegiatan awal ekspansi pertambangan nikel di kawasan perkebunan masyarakat. Dahulu ia bekerja sebagai karyawan perusahaan kontraktor dan ditugaskan menebang pohon menggunakan mesin pemotong kayu. Ia memutuskan berhenti sebagai karyawan ketika mulai merintis kebun merica miliknya. Tak hanya itu, gaji sebagai karyawan perusahaan kontraktor hampir tidak pernah mencukupi kebutuhannya dengan keluarga.

Ia pun merasa dipaksa melakukan kegiatan yang berbenturan dengan petani. Kegiatan eksplorasi berupa pembukaan jalan dan pengeboran membuat beberapa sungai di dusun Papa Ilham menjadi keruh dan tercemari solar dari alat perusahaan yang beroperasi tepat di sekitar sungai dan mata air Barung Lemo.

Jika pengeboran saja sudah membuat keruh sungai kita, bagaimana Ketika jadi di tambang. Kita pasti tergusur juga”  Kalimat pesimis yang keluar dari mulut petani ini.

Sadar dan Menyadarkan

Hari demi hari berlalu sejak awal kegiatan eksplorasi perusahaan dimulai. Secara perlahan Papa Ilham mulai menyadarkan kerabat sekampungnya akan ancaman kerusakan lingkungan dan hak hidup mereka di Barung Lemo. Walau sesekali diterpa rasa pesimis sebab menganggap dia tak akan mampu menghentikan perusahaan raksasa ini. Pesimis itu terkalahkan oleh rasa khawatir akan masa depan dirinya, keluarga dan serta kerabat. Terlebih Papa Ilham terikat tanggung jawab struktural sebagai ketua RT di kampungnya itu,

Jadi pemimpin tidak boleh tenggelam dalam rasa pesimis, nanti yang lain ikut tenggelam” Ucapnya dengan semangat sambil sedikit bercanda memekarkan senyum di bibir dan kerut di pinggir kelopak matanya. Setiap pertemuannya dengan petani lain tak sekedar membahas soal hasil melimpah dari merica, tetapi juga membahas soal ancaman bersama yang akan dihadapi petani dan bagaimana sikap tegasnya terhadap ancaman industri ekstraktif tersebut. Papa Ilham tak pernah berhenti memberikan pemahaman ke petani lain termasuk lewat perspektif agama Islam dalam memperjuangkan hak hidup layak dalam mengelola alam. Sehari-hari Papa Ilham juga taat menjalankan ibadah lima waktu dan merupakan Imam sekaligus Khotib (orang yang berkhutbah)  di Barung Lemo saat shalat Jum’at di kampungnya.

Suatu malam gulita terjadi pemadaman listrik karena adanya kebakaran pasar di desa lain. Dengan bantuan cahaya dari lampu senter kali pertama saya bertemu dan bercengkrama dengan Papa Ilham serta petani merica Barung Lemo lainnya. Pada kesempatan itu saya melontarkan sebuah tanya dengan sedikit gemuruh emosi campur aduk:

Apakah kalian mau diam saja kalau kebun dan mata air bapak bapak sekalian dirusak semua?

Dengan tegas dan serentak mereka berkata:

Tidaklah, kami mau cari makan dan minum di mana lagi kalau itu semua rusak. Jika saja semua orang di Loeha Raya ini mau bersatu, saya yakin ini bisa kita pertahankan” harapan Papa Ilham saat itu;

Lalu kemudian kujawab:

Belum bersatu bukan berarti tidak akan bersatu toh? Sekarang mari kita sama-sama menjaga mata air itu untuk kita semua”.

Tak ku sangka setelah percakapan di tengah malam gulita itu Papa Ilham dan banyak petani Loeha Raya yang saya temui mulai menyadarkan teman-teman petani lainnya bahwa mereka berhak memperjuangkan mata air dan kebun mereka dari ancaman perusahaan tambang nikel PT Vale Indonesia Tbk. Mereka terus saling menguatkan dan menyadarkan orang lain dengan mimpi besar dan harapan persatuan masyarakat memperjuangkan ‘mata air dan sumber kehidupan’ mereka.

Bergerak Berjuang

Gerilya petani sebagai unsur utama gerakan akar rumput sejak Juli hingga awal Agustus 2023 menarik perhatian publik. Waktu itu menjadi penanda gerakan penolakan konfrontatif masyarakat Loeha Raya. Saban purnama mereka lewati untuk menyadarkan sesama masyarakat. Papa Ilham, Aswan, dan petani merica lainnya mencoba menghimpun diri mereka dalam satu gerakan aksi demonstrasi untuk mengusir dan menghentikan kegiatan eksplorasi yang selama beberapa bulan terakhir telah merusak beberapa tanaman, sungai, mata air, jalan tani serta menghantui masyarakat. Dari keresahan tersebut mereka mulai mengadakan musyawarah untuk menyiapkan aksi penolakan tambang nikel di wilayah mereka dengan berdemonstrasi di camp perusahaan kontraktor PT  Vale Indonesia Tbk. yang terletak tak jauh dari kampung Papa Ilham.

Aksi Demonstrasi Petani yang Menuntut Perusahaan Keluar Dari Loeha Raya

Masyarakat Loeha Raya melakukan aksi demonstrasi sebanyak dua kali. Aksi pertama massa diperkirakan hampir menembus angka 1.000 orang pada 24 Juli 2023. Tuntutan yang dibawa adalah perusahaan harus keluar dari Loeha Raya dengan jangka waktu 7×24 jam setelah aksi pada hari itu. Amarah petani bisa jadi bom waktu yang sangat berisiko. meski begitu perusahaan bebal tidak mengindahkan tuntutan masyarakat. Maka masyarakat kembali melakukan aksi serupa dengan jumlah massa yang lebih banyak pada 2 agustus 2023. Aksi itu menciptakan suasana lebih panas dari aksi sebelumnya.

Saat siang hari sebelum massa pulang, pihak perusahaan meminta diberikan waktu dua hari untuk menarik semua alat perusahaan dari kebun merica masyarakat Loeha Raya. Sebuah kemenangan kecil telah dicapai masyarakat dengan persatuan. Berhentinya kegiatan eksplorasi sedikit mengurangi kekhawatiran petani merica di Loeha Raya.

Sedikit Tenang

Pagi itu cuaca sangat cerah dengan kesibukan petani kembali seperti biasanya. Lalu Lalang kendaraan petani masuk ke kebun merica mereka. Sebahagian sekedar memantau buruh tani mereka. Ada pula yang masih melakukan pemupukan dan pemetikan. Seminggu setelah perusahaan eksplorasi berhenti melakukan kegiatannya di wilayah perkebunan masyarakat. Meski masih ada rasa khawatir kegiatan pertambangan akan kembali dilanjutkan di wilayahnya, Papa Ilham merasa sedikit bahagia ketimbang seminggu sebelumnya. Salah satu hal yang membuatnya bahagia adalah sungai yang seminggu lalu keruh kini perlahan terlihat jernih dan bersih, namun masih sedikit menyisakan sedimentasi lumpur hasil pengeboran perusahaan.

Satu Sungai Barung Lemo yang Sudah Membaik Pasca Berhentinya Kegiatan Eksplorasi

Papa Ilham dan petani Barung Lemo lainnya semakin yakin bahwa janji perusahaan pertambangan yang katanya tidak akan merusak ekosistem sungai mereka itu mustahil terjadi. Sebab hanya dengan kegiatan pengeboran sungai mereka sudah tercemari lumpur sedimentasi hasil pengeboran. “padahal ini baru mengebor, sudah nakasi keruh sungai. bagaimana kalau jadi ditambang, bukan keruh lagi tapi hancur dan hilang.” Tutur Papa Ilham kepada saya dan Petani Lainnya saat saya berkunjung di Barung Lemo pagi itu.

Setelah ini mereka berharap agar kegiatan eksplorasi atau apapun itu yang berkaitan dengan pertambangan tidak lagi ada di kampung mereka juga di kampung lain di Loeha Raya. Papa Ilham dan Seluruh Petani Loeha Raya meminta kepada presiden Republik Indonesia agar menghapus seluruh konsesi atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Loeha Raya termasuk di kawasan perkebunan merica masyarakat.

Masyarakat khawatir betul akan masa depan mereka yang akan suram jika perekonomian dari sektor merica tergantikan dengan kegiatan pertambangan. Mereka juga tentu sangat khawatir atas keberlanjutan ekosistem sungai yang mereka jaga selama ini akan rusak akibat kegiatan pertambangan.

Cerita ini ditulis oleh Padli Septian dan diedit Nur Herliati