6 Oktober 2023

Ekspansi Tambang Nikel di Pulau Sulawesi terus mengancam wilayah kelola rakyat dan lingkungan hidup, khususnya ekosistem hutan dan perkebunan petani dan perempuan. Belum hilang dari ingatan kita bagaimana konflik yang terjadi akibat dampak ekspansi tambang nikel di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang menyebabkan rusak dan hilangnya ribuan hektar kebun cengkeh masyarakat, kini muncul masalah baru yang akan dialami oleh ribuan petani merica di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. 

Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, konflik yang besar berpotensi terjadi dan dialami oleh ribuan petani dan perempuan di Desa Ranteangin dan Loeha, Kecamatan Towuti. Pasalnya, terdapat 4.239 Ha kebun merica milik petani dan perempuan di area yang disebut Tanamalia terancam digusur oleh perusahaan tambang nikel yaitu PT Vale Indonesia. Tidak hanya itu, Ekosistem Hutan Hujan dan Danau yang terletak di daerah tersebut juga terancam rusak akibat ekspansi atau perluasan tambang nikel. 

Bagi masyarakat, hutan, danau dan kebun merica adalah kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan karena memiliki fungsi yang saling berhubungan. Bila salah satunya rusak, maka kehidupan masyarakat dan flora dan fauna Endemik Sulawesi disekitarnya juga akan terganggu, bahkan bisa menghilang. 

Khususnya perkebunan merica. Bagi masyarakat, khususnya perempuan, kebun merica adalah warisan yang paling berharga dari orang tua mereka. Kebun merica tersebut adalah sumber kehidupan utama mereka. Dari perkebunan merica tersebut, para petani dapat membiayai kehidupan mereka sehari-hari, membeli kebutuhan pokok dan sekunder, hingga menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Manfaat lainnya yang juga diketahui masyarakat adalah perkebunan merica yang dikelola petani di Tanamalia ternyata mampu mempekerjakan orang lain sebagai buruh tani, dengan upah setiap buruh tani minimal 80.000 per hari. Dengan begitu, para petani juga telah membantu pemerintah untuk menurunkan pengangguran, khususnya di Sulawesi Selatan.

Selain itu, berdasarkan studi valuasi ekonomi perkebunan merica petani dan perempuan di Tanamalia, didapatkan nilai ekonomi dari produksi perkebunan merica tersebut sebesar 3,6 triliun setiap musim/tahun. Angka ini tentu saja tidak dapat diabaikan oleh pemerintah, PT Vale dan pemegang saham PT Vale.  mengingat nilai  ekonomi, pergerakan dan perputaran ekonomi yang besar dan kontribusi yang juga sangat besar terhadap perekonomian di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. 

Karena ancaman pengurusan dan penghilangan sumber mata pencaharian yang semakin nyata akan terjadi pada petani dan perempuan di Tanamalia (Desa Loeha dan Ranteangin), WALHI Sulawesi Selatan bersama perwakilan Asosiasi Petani Merica Loeha Raya dan Organisasi Perempuan Loeha Raya, datang ke Jakarta sejak hari Senin hingga Kamis (2-5 Oktober 2023) untuk memohon kepada Presiden Joko Widodo agar menghapus konsesi PT Vale di Tanamalia.  Meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tidak menerbitkan IPPKH baru untuk PT Vale. Memohon kepada Menteri ESDM agar meninjau ulang  konsesi tambang Konsesi ke PT Vale di Blok Tanamalia.

Di kesempatan yang langka ini, para petani dan perempuan di Loeha Raya juga mendatangi dan berdiskusi dengan beberapa pemerintah negara lain, dimana perusahaan dan lembaga keuangan mereka turun berinvestasi di PT Vale Indonesia. Petani berharap agar investasi perusahaan dan lembaga keuangan tersebut tidak mengakibatkan penggusuran, kekerasan, intimidasi, teror dan pelanggaran HAM dan pemiskinan masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak. Kami berharap para pemegang saham PT Vale Indonesia menghormati permintaan ribuan petani dan perempuan yakni melepaskan kebun dan hutan di Tanamalia dari konsesi tambang nikel PT Vale Indonesia. 

Permintaan Pelepasan Konsesi di Tanamalia tidak akan membuat Vale dan Pemegang Saham Vale Rugi

Sejak 1968, PT Vale Indonesia Tbk memperoleh konsesi seluas 17.776,78 Ha di wilayah Tanamalia. atau 15 persen dari seluruh konsesi PT Vale Indonesia di Pulau Sulawesi (Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara). Kini, eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan ini sejak awal 2022 telah memunculkan kekhawatiran yang serius terhadap petani dan perempuan di Desa Ranteangin dan Loeha. Keprihatinan masyarakat tersebut berkaitan dengan dampak yang akan ditimbulkan dari perpanjangan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) eksplorasi yang diajukan oleh PT Vale Indonesia kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Blok Tanamalia.

Saat ini, masyarakat yang berprofesi sebagai petani, buruh tani, dan berbagai kalangan lainnya telah bersatu dalam penolakan ini. Mereka telah mengumpulkan 1.404 tanda tangan dalam petisi untuk meminta pemerintah Indonesia mengeluarkan Tanamalia dari konsesi PT Vale Indonesia. Pada dasarnya, kami menilai bahwa PT Vale Indonesia beserta para pemegang saham PT Vale Indonesia tidak akan merugi jika bersedia melepaskan Tanamalia dari konsesi tambang, karena konsesi Vale di Tanamalia hanya 15 persen dari total konsesi di Pulau Sulawesi. 

Sebaliknya, bila PT Vale Indonesia bersedia mengeluarkan konsesinya di Tanamalia, PT Vale Indonesia telah memperlihatkan bagaimana PT Vale mengimplementasikan praktek bisnis dan HAM di Indonesia, khususnya menghormati permintaan petani dan perempuan sebagai bagian dari penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. 

Lanjut dari pada itu, usaha dan pengorbanan petani dan perempuan dalam melindungi sumber kehidupannya di Tanamalia sudah  sangat besar. Bahkan saat ini, petani dari Lima desa yang berkebun di wilayah Tanamalia telah bersatu untuk mempertahankan perkebunan mereka dari ancaman penggusuran. Selain itu, upaya advokasi telah dilakukan melalui audiensi dengan pemerintah daerah, pemerintah kabupaten, dan pemerintah pusat. begitupun aksi-aksi protes juga telah digelar di depan kantor PT Vale Indonesia di Tanamalia.

Ribuan petani merica di Desa Loeha dan Ranteangin akan terus berusaha  agar PT Vale Indonesia mendengarkan suara mereka. Keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan atau proyek yang melibatkan pengelolaan sumber daya alam.

Terakhir, melalui siaran pers ini, Asosiasi Petani Merica Loeha Raya bersama Pejuang Perempuan Loeha Raya meminta kepada seluruh pihak untuk segera melindungi kehidupan dan mata pencaharian petani dan perempuan di Desa Ranteangin dan Loeha, juga menyelamatkan ekosistem hutan dan Danau Towuti. 

Secara khusus kami menuntut: 

  1. Kepada Presiden Joko Widodo dan DPR RI, cq Menteri ESDM dan untuk mereview konsesi PT Vale Indonesia khususnya di Blok Tanamalia dan mengeluarkan Tanamalia dari Konsesi PT Vale Indonesia. 
  2. Kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak menerbitkan dan melanjutkan IPPKH Eksplorasi PT Vale Indonesia di Blok Tanamalia
  3. Kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk memantau dan melindungi seluruh petani dan perempuan yang sedang berjuang melindungi lingkungan dan sumber kehidupan mereka dari perluasan tambang PT Vale Indonesia
  4. Kepada CEO PT Vale Indonesia untuk bersedia bertemu berdialog secara langsung dengan petani dan perempuan dengan cara yang benar di Desa Loeha dan Ranteangin untuk mendengar aspirasi dan permintaan masyarakat. 
  5. Kepada perusahaan pemegang saham PT Vale Indonesia untuk menghormati aspirasi dan permintaan petani dan perempuan di Desa Loeha dan Ranteangin yang ingin melindungi kebun sebagai sumber mata pencaharian utama masyarakat, sesuai dengan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. 
  6. Kepada Pemerintah, di mana pemegang saham PT Vale/Vale berada (Brazil, Jepang, Amerika Serikat, dan Norwegia), untuk menjalankan obligasi ekstrateritorial di Indonesia dengan turut memantau operasi bisnis PT Vale Indonesia khususnya untuk  mencegah kekerasan, intimidasi dan pemindahan paksa, penggunaan militer dan polisi bersenjata dan pemiskinan ribuan petani dan perempuan yang berkebun di Tanamalia.

Narahubung:

Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan, 082293939591,
Ali Kamri Nawir, Asosiasi Petani Merica Loeha Raya
Fatmawati, Pejuang perempuan Loeha Raya
Yahya Mukhtar, Asosiasi Petani Merica Loeha Raya
Baharuddin, Asosiasi Petani Merica Loeha Raya

[Asosiasi Petani Lada Loeha Raya, Pejuang Perempuan Loeha Raya, WALHI Sulawesi Selatan, WALHI Nasional, JATAM, Satya Bumi, Trend Asia, HuMa, AEER]