Oleh : Zulfaningsih HS
Di bagian utara Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu Timur berdiri sebagai salah satu penghasil merica terbesar di Indonesia. Di sini, kecamatan Towuti tepatnya di Loeha Raya dikenal dengan hamparan kebun merica yang subur. Kini, keberlanjutan hidup dan wilayah kelola rakyat berada di ujung tanduk. Di bawah naungan tanah yang subur dan hamparan kebun hijau, kehidupan masyarakat yang bertumpu pada hasil pertanian—warisan turun-temurun dari generasi ke generasi—terancam lenyap. Kehadiran sebuah perusahaan besar dengan agenda eksplorasi telah mengguncang fondasi kesejahteraan ini. Di balik kilauan janji-janji pembangunan, tersembunyi realitas pahit: pengambilalihan lahan secara sepihak yang tak hanya merampas tanah, tetapi juga meruntuhkan martabat dan tatanan kehidupan petani. Ini bukan sekadar ancaman terhadap ekonomi, tetapi juga penghancuran identitas dan harapan masyarakat.
Tragedi ini adalah cerminan nyata dari konflik agraria yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Ketika pemerintah menerbitkan perpanjangan izin eksplorasi lanjutan untuk PT Vale Indonesia tanpa partisipasi masyarakat, terbit pula rasa ketidakadilan yang membara. Hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri dirampas, seolah suara masyarakat tak lebih dari desah angin yang berlalu. Pembangunan nasional, yang seharusnya membawa kemakmuran, malah menjadi selubung dominasi yang menindas.
Perampasan ruang hidup bukan sekadar soal kehilangan tanah atau wilayah kelola rakyat; ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling dasar—hak untuk hidup layak, sehat, dan merdeka. Bagaimana mungkin negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi fasilitator bagi eksplorasi yang menghancurkan? Ketika mata air mengering, udara tercemar, dan ladang tak lagi subur, yang tersisa hanyalah kerinduan akan hari-hari penuh ketenangan yang telah direnggut.
Rifai dan Perjuangan Mempertahankan Lahan Merica
Rifai, seorang pemuda berusia 26 tahun, merasakan getaran gemuruh di tanah kelahirannya. Dia adalah suara bagi mereka yang terpinggirkan, namun perjuangannya dimulai dengan langkah yang lambat. Terjebak dalam rutinitas kuliah di Makassar, dia tidak menyadari bahwa tanah yang membesarkannya sedang berada di ambang kehancuran. Ketika kabar tentang penyerangan lahan pertanian oleh PT Vale Indonesia sampai ke telinganya, dia segera kembali ke kampung. Di sana, dia menemukan kenyataan pahit: perusahaan itu tidak melibatkan masyarakat dalam rencana mereka, hanya mengeruk keuntungan sambil mengabaikan hak-hak rakyat.
Namun, berita di Juli 2023 bahwa keluarganya sendiri terlibat dalam lingkaran eksplorasi: sang ayah bekerja sebagai satpam di kamp PT Vale Indonesia, sementara kakak sepupunya menjabat sebagai supervisor. “Saya merasa ada yang janggal,” kata Rifai. “Tidak ada keterlibatan masyarakat luas, dan mereka yang dilibatkan hanya sedikit, itupun karena dijanjikan pekerjaan.”
Ketika Rifai pulang ke kampung, ia melihat ancaman nyata yang dihadapi desanya. Kebun merica yang menjadi sumber kehidupan masyarakat terancam diambil alih untuk eksplorasi tambang. Sejak saat itu, Rifai mulai bergerak. Ia meyakinkan keluarganya untuk meninggalkan pekerjaan di perusahaan tambang tersebut. Sang ayah dan kakaknya akhirnya berhenti, menjadi langkah awal dalam perjuangan Rifai mengorganisir masyarakat.
Membangkitkan Kesadaran dari Rumah ke Rumah
Namun, upaya Rifai tak mudah. Pada awalnya, banyak warga yang bersikap pasif. “Masyarakat dulu hanya berkata, ‘Yang penting bukan kebunku yang ditambang,’” kenang Rifai. Tetapi ia tak menyerah. Bersama komunitas petani, ia mulai mensosialisasikan dampak tambang, berkeliling dari satu kampung ke kampung lain, seperti Bantilang, Masikku, dan Tokalimbo.
Beberapa pemuda ikut berjuang dengan berani, sementara sebagian besar lainnya memilih untuk mendukung dari belakang, enggan terlibat langsung dalam aksi. Tapi dengan semangat yang membara, ia tetap teguh berdiri bersama Ical untuk mengajak generasi muda lainnya bergabung dalam perjuangan. “beberapa dari mereka takut, hanya menitipkan perjuangan kepada saya dan beberapa teman yang mau bergerak. Padahal, perjuangan ini membutuhkan semua orang,” ujar Rifai dengan nada getir, namun tekadnya tetap kuat.
Rifai dan Ical sadar bahwa untuk melawan ketamakan yang mengancam tanah leluhur mereka, tidak cukup hanya beberapa orang yang bersuara. Mereka percaya bahwa suara pemuda adalah kekuatan besar yang bisa merubah arah pertempuran ini. “Kami ingin mereka sadar, bahwa perlawanan ini bukan hanya soal siapa yang berjuang di depan, tetapi tentang siapa yang turut mendukung di belakang, ikut menjaga dan melindungi,” kata Ical dengan penuh keyakinan.
Mereka terus bergerak, mengorganisir pertemuan dan diskusi, membangkitkan rasa solidaritas dan semangat di antara sesama pemuda. “Tidak ada alasan untuk diam,” tegas Rifai
Korporasi yang Berkuasa di Atas Negara
Sumber foto: KLHK 2024 dalam lampiran Peta Perpanjangan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Eksplorasi Lanjutan pada Tahap Operasi Produksi Nikel PT. Vale Indonesia
Rifai menyadari bahwa tantangan terbesar bukan hanya meyakinkan masyarakat, tetapi juga melawan dominasi korporasi yang bahkan melampaui kekuasaan pemerintah setempat. “Di sini, korporasi lebih berkuasa dibanding pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang diambil cenderung menguntungkan perusahaan, bukan masyarakat,” tegasnya.
Perpanjangan izin eksplorasi lanjutan PT Vale Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2024 tanpa konsultasi dengan masyarakat menjadi puncak frustrasi masyarakat. Meskipun masyarakat telah mengadukan permasalahan ini ke pemerintah pusat, hingga kini tak ada respon berarti. “Hanya alasan kosong yang tidak ada artinya,” keluh Rifai.
Kebanggaan di Ladang Merica
Bagi Rifai, bertani bukanlah tanda kegagalan, melainkan simbol kemandirian. Namun, stigma masyarakat terhadap profesi petani masih kuat. “Beberapa tahun lalu, ada yang berkata kepada saya, ‘Kau sudah sarjana, masa kembali ke kampung hanya untuk bertani?’” Rifai mengingat, nada suaranya menyiratkan kegetiran. “Seolah-olah bekerja di perusahaan adalah kesuksesan, sementara bertani dianggap remeh. Padahal, dari merica, banyak keluarga yang berhasil menyekolahkan anak hingga ke luar negeri.”
Cerita Ical untuk Anak Muda: “Jangan Biarkan Kampung Kita Rusak!”
Ical, seorang pemuda lain yang juga terlibat dalam perjuangan, memiliki cerita yang sama. Dia menyaksikan bagaimana masyarakatnya terancam oleh kehadiran tambang, dan merasa perlu untuk mengambil tindakan atas kehadiran tambang nikel menjadi ancaman nyata bagi tanah kelahirannya. Perjuangannya tidak hanya soal mempertahankan kebun merica—sumber utama penghidupan masyarakat—tetapi juga tentang menjaga lingkungan, hak asasi manusia, dan martabat desanya.
“Ini bukan hanya tentang kebun kita, tetapi juga tentang kesehatan, lingkungan, dan masa depan anak cucu kita!” ujar Ical dengan penuh semangat. Bersama Rifai, seorang pemuda lain yang juga gigih dalam perlawanan, Ical berkomitmen menyadarkan masyarakat akan bahaya tambang yang mengintai setiap sudut kehidupan mereka.
Ketika Desa Mulai Berkobar
Pada 2021, Ical mulai menyadari bahaya laten dari ekspansi tambang yang diam-diam mengincar kebun merica masyarakat. Meski pada awalnya tak banyak yang peduli, ia memulai langkah kecil dengan berdiskusi bersama para tetangga. Kegelisahannya menjadi pemantik solidaritas perlahan-lahan. “Ini bukan cuma urusan individu. Ini soal tanah kita, udara kita, dan air kita,” ungkapnya.
Titik balik terjadi ketika Ical kembali ke desanya pada September 2023 setelah menyelesaikan pendidikan di Makassar. Dengan semangat yang lebih menggebu, ia mengedukasi masyarakat tentang ancaman ekologis, kesehatan, dan sosial yang muncul akibat aktivitas tambang. “Kalau perusahaan masuk, air bersih akan habis, udara akan penuh debu, dan anak-anak kita akan tumbuh di lingkungan yang sakit. Apa kita tega?” serunya kepada masyarakat.
Langkah Awal yang Berat: Membangun Kesadaran Kolektif
Perjuangan Ical tidaklah mudah. Awalnya, ia harus menghadapi keraguan dari sebagian besar masyarakat yang masih berharap pada janji pekerjaan dari perusahaan tambang. Namun, ia terus bergerak. Dari satu pertemuan ke pertemuan lain, Ical menanamkan kesadaran tentang pentingnya mempertahankan tanah sebagai sumber kehidupan.
Ia juga aktif membangun jaringan solidaritas di antara pemuda. “Saya sering mendatangi tongkrongan-tongkrongan, bertanya kepada mereka: Apa kalian mau membiarkan kampung kita dirusak? Apa kalian ingin hidup menjadi buruh yang hanya mematuhi korporasi asing?” Diskusi-diskusi itu membuahkan hasil. Sepuluh pemuda pertama bergabung dalam gerakan penolakan tambang, dan jumlahnya terus bertambah.
Mengorganisasi Perlawanan
Menghadapi korporasi besar seperti PT Vale Indonesia membutuhkan strategi yang matang. Ical dan Rifai memfokuskan perjuangan mereka pada penguatan mental masyarakat, pengorganisasian petani, serta aksi-aksi kolektif untuk menekan pemerintah.
“Perusahaan ini bukan hanya mengincar tanah kita, mereka juga menciptakan ketergantungan. Kita harus kuat, baik secara mental maupun strategi,” ujar Ical. Bersama komunitas petani, ia merancang aksi-aksi advokasi mulai dari tingkat lokal hingga nasional. Pada akhir 2023, mereka berangkat ke Jakarta untuk menyerahkan petisi kepada pemerintah pusat, mendesak pengakuan atas hak masyarakat dan perlindungan terhadap lahan pertanian mereka.
Pelanggaran HAM yang Terselubung: Menguak Wajah Ketidakadilan
Bagi Ical, ekspansi tambang bukan sekadar konflik lahan, tetapi juga wujud nyata pelanggaran hak asasi manusia. “Hak hidup kita diambil. Hak kita untuk menentukan nasib tanah kita dilanggar. Ini pelanggaran HAM yang sistematis!” tegasnya.
Ical menyaksikan bagaimana perusahaan tambang beroperasi tanpa melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. “Yang diajak bicara cuma segelintir orang, itu pun karena janji pekerjaan yang akhirnya tidak sepadan dengan kerusakan yang terjadi,” katanya dengan nada geram.
Harapan untuk Generasi Muda
Perjuangan Rifai dan masyarakat Loeha Raya adalah manifestasi nyata dari tekad melawan perampasan ruang hidup. Sebagai juru publikasi komunitas petani, Rifai dengan gigih membawa kisah mereka ke dunia luar, mendokumentasikan setiap langkah perjuangan agar dapat menginspirasi orang lain. “Perampasan ruang hidup ada di mana-mana. Maka, perlawanan juga harus ada di mana-mana,” ujarnya lantang, menggarisbawahi pentingnya perjuangan kolektif melawan ketidakadilan.
Dalam menghadapi korporasi raksasa yang mendominasi, Rifai memahami bahwa mempertahankan tanah leluhur tidak semata-mata soal melindungi kebun merica, tetapi juga melawan sistem yang secara sistematis merampas hak-hak dasar masyarakat kecil. Ia percaya bahwa solidaritas, tekad, dan konsistensi dalam memperjuangkan keadilan adalah kunci untuk meraih kemenangan. “Kami tidak hanya melindungi tanah, tetapi juga masa depan dan martabat kami,” tegasnya.
Di tengah situasi yang semakin berat, suara Rifai dan Ical adalah lentera yang menerangi jalan panjang perlawanan. Mereka adalah pengingat bahwa tanah bukan hanya tempat berpijak, tetapi juga warisan berharga yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Ical, dengan optimisme yang tak tergoyahkan, menyerukan kepada generasi muda untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga lingkungan dan melawan ketertindasan. “Anak muda harus jadi pelopor, menjaga alam, melindungi tanah air dari perampasan. Jangan biarkan mereka merusak kampung kita!” serunya penuh semangat. Bagi Ical, perjuangan ini adalah panggilan moral yang tidak bisa diabaikan, sebuah tugas untuk memastikan tanah leluhur tetap menjadi tempat subur yang layak untuk dihuni.
Tanah sebagai Sumber Kehidupan, Harapan, dan Martabat
Melalui perjuangan yang penuh keberanian, Rifai, Ical, dan komunitas petani Loeha Raya telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap ketamakan korporasi. Tanah bagi mereka bukan sekadar benda mati yang bisa diperjualbelikan, melainkan sumber kehidupan, harapan, dan harga diri yang tak tergantikan.
“Loeha Raya adalah rumah kami, bukan ladang eksploitasi. Selama kami masih berdiri, kami tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkannya,” seru mereka, menyatukan suara dalam semangat perlawanan. Dalam setiap langkah mereka, terdapat pesan kuat tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, dan melawan eksploitasi yang hanya membawa kehancuran.