Sabtu, 31 Mei 2025, Green Youth Celebes dan WALHI Sulawesi Selatan kembali menggelar Diskusi Serial #2 Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nusantara. Diskusi Serial kali ini mengangkat tema “Lima Tahun Pasca Pengerukan: Potret Kehidupan Perempuan dan Biodiversitas di Kawasan Spermonde”
Kepala Departemen Riset dan Ketertiban Publik WALHI Sulawesi Selatan, Slamet Riadi, menerangkan bahwa webinar kali ini konsen pada isu spermonde mengingat bahwa 22 Mei lalu diperingati sebagai hari keanekaragaman hayati sedunia.
“Kita memperingati hari keanekaragaman hayati sedunia dengan refleksi mendalam bahwa seperti apa kehidupan biodiversitas di kepulauan Spermonde” kata Slamet.
Diskusi Serial ini menghadirkan dua orang narasumber, Ibu Sita (Perempuan Pejuang Kodingareng) dan Dr. Syafyudin Yusuf (Dosen/Ahli Terumbu Karang UNHAS).

Ibu Sita menceritakan bagaimana situasi dan kondisi yang dialami masyarakat Pulau Kodingareng pasca tambang pasir laut lima tahun silam.
“Dulu ketika mencari ikan, paling 4 mil. Sekarang lebih 12 mil, bahkan nelayan harus bermalam di laut” kata Sita.
Hal tersebut terjadi, sebab Copong yang menjadi wilayah tangkap nelayan kini ekosistemnya sudah rusak akibat aktivitas tambang pasir laut. Selain itu, tambang pasir laut juga berdampak buruk ke berbagai sektor, termasuk ekonomi, sosial, dan pendidikan. Perempuan Pulau Kodingareng tidak tinggal diam dalam menghadapi situasi sulit tersebut. Dalam kesehariannya mereka berdagang, menjual berbagai makanan hasil olahan untuk membantu para suami mereka agar tungku dapat tetap menyala.
Sementara itu, menurut Dr. Syafyudin Yusuf, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil seringkali terabaikan karena tiga hal; Pertama, ada keterisolasian. Kedua keterbatasan masyarakat untuk menjangkau daerah-daerah produktif. Ketiga, semua ibu-ibu berharap dari jualannya.
“Berharap laku, ternyata mereka bertemu antara penjual dengan penjual, lama-lama ini menjadi sistem operasi barter, tidak ada uang yang berjalan karena semua menjual” Kata Syafyudin.
Ahli terumbu karang Universitas Hasanuddin tersebut juga menjelaskan bahwa Indonesia sebagai mega biodiversity atau gudangnya biodiversitas, ternyata tidak bisa menjamin masyarakatnya sejahtera. Meskipun misi konservasi dan ketahanan pangan laut tetap dikembangkan, namun terumbu karang dan ekosistem yang terkait itu belum bisa menjamin orang untuk menghidupi keluarganya seperti di Pulau Kodingareng atau kepulauan Spermonde.

Menurutnya, tutupan karang hidup Kepulauan Spermonde sejak 2015 berkisar 29,5 – 67,73% atau dalam kondisi sedang hingga bagus. Sementara khusus stasiun pemantauan Pulau Kodingareng sebanyak 35% atau dalam kondisi sedang.
Penambangan pasir laut atau degradasi hutan yang berada dekat dengan laut, dampaknya dapat dilihat di bawah laut. Meskipun airnya sudah jernih, sudah tidak ada lagi pengaruh bekas penambangan, tetap bisa diidentifikasi. Karang-karang yang mati akan ditumbuhi alga, lumpur-lumpur akan tetap melekat pada bagian karang karena karang mempunyai lendir.
“Mungkin fisiknya masih tegak karena karang terbentuk dari kapur, tapi organismenya sudah tidak ada dan ikan-ikan tidak lagi tertarik pada benda-benda mati seperti itu”.
Terakhir, Ibu Sita menitipkan pesan dan harapan kepada presiden Prabowo Subianto agar tidak ada lagi tambang pasir laut di Indonesia khususnya di Pulau Kodingareng.