Dalam beberapa tahun sampai saat sekarang, konflik lahan antara PTPN XIV dengan masyarakat di Kabupaten Enrekang terkhusus di Kecamatan Maiwa dan Cendana masih belum usai.

Selasa, 28 Maret 2023, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan dan Aliansi Masyarakat Massenrempulu (AMPU) menggelar Diskusi Multipihak bertemakan ‘Menggagas Penyelesaian Konflik Lahan Masyarakat Enrekang dan Perlindungan Wilayah Kelola Rakyat dari Perkebunan Sawit PTPN XIV’.

Diskusi multi pihak yang diselenggarakan di Kabupaten Enrekang ini menghadirkan beberapa pihak seperti Ketua DPRD Kabupaten Enrekang, ATR BPN, PTPN XIV, Polres, Dandim, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel dan Aliansi Masyarakat Massenrempulu (AMPU).

Menurut keterangan perwakilan ATR BPN dalam diskusi ini menjelaskan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) PTPN sudah berakhir sejak 2003.

“Namun karena lokasi ini merupakan aset negara yang terdaftar kementrian keuangan sebagai kekayaan negara sehingga menjadi sulit. Posisi kami hanya sebagai petugas admistrasi dan menunggu apa saja yang diputuskan itu yang kami lakukan”, ucap Perwakilan ATR BPN dalam diskusi ini.

Selanjutnya, Ketua DPRD Kabupaten Enrekang juga turut menyampaikan bahwa kami masih berpegang pada surat rekomendasi bupati tahun 2018 yang merekomendasikan beberapa hal.

“Rekomendasi tersebut diantaranya adalah tidak boleh ada aktivitas apapun sebelum ada izin HGU yang terbit, Pemerintah dan PTPN secara aktif meyelesaikan konflik dengan masyrakat, dan terakhir perlu ada kebijakan pemerintah provinsi dan pusat dalam menyelesaikan konflik PTPN dengan Masyarakat di Enrekang”, ungkap Ketua DPRD Kabupaten Enrekang.

Dilain sisi, perwakilan PTPN XIV yang hadir dalam diskusi ini menerangkan bawha sebenarnya dasar kami dalam melakukan aktivitas itu mengacu pada SK HGU No 1 tahun 1973.

“Selain itu, ada juga rekomendasi dari pemerintah kab. Enrekang, soal menggusur kami tidak melakukan itu tetapi yang kami lakukan adalah Land Clearing”, Ujarnya.

Pernyataan dari perwakilan PTPN XIV ini pun langsung ditanggapi dan dibantah oleh Ketua AMPU yang menyampaikan bahwa bahasa yang digunakan PTPN tadi dengan mengatakan Land Clearing, jelas berbeda dengan faktanya di lapangan dimana mereka menggusur lahan warga.

“Sehubungan dengan dasar alas hak PTPN yang disampaikan tadi itu tidak menyeluruh dimana faktanya izin HGU mereka sudah habis sejak tahun 2003 yang secara terang benerang terkonfirmasi tadi disampaikan oleh ATR BPN.” Ucap Ketua AMPU yang menjelaskan poin utama permasalahan konflik lahan antara PTPN XIV dengan masyarakat.

Tidak hanya itu, Ketua AMPU juga mengomentari apa yang di sampaikan oleh ATR BPN terkait soal lokasi Ex HGU PTPN yang merupakan aset Negara yang terdaftar sebagai kekayaan negara di kementrian keuangan.

“Kami kira, itu tidak benar, dimana faktanya dalam surat yang kami terima dari Kementrian Keuangan menerangkan Ex HGU PTPN tidak terdaftar dikementrian keuangan sebagai kekayaan negara”, tutup Ketua AMPU dalam diskusi ini.

Menanggapi persoalan ini, Rahmat Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulawesi Selatan juga turut menyampaikan tanggapannya bahwa penggusuran lahan milik petani yang dilakukan oleh perusahaan harus segera dihentikan.

“Kita sudah mendengar secara langsung bahwa HGU sudah berakhir, maka dari itu aktifitas harus segera dihentikan karena sudah banyak lahan milik warga digusur oleh PTPN XIV. Bahkan ada banyak warga yang dikriminalisasi hanya kaena memperjuangkan tanah dan ruang hidupnya”, Kata Rahmat.

Diketahui bahwa saat ini masyarakat yang tengah berjuang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya telah terintimidasi dan dikriminalisasi. Hal ini dikarenakan adanya penetapan tersangka kepada salah seorang petani serta banyaknya pemanggilan kepada mereka akibat memperjuangkan haknya. Kejadian ini sudah harus menjadi cerminan bagi pemerintah baik pusat, provinsi, maupun daerah agar segera menghentikan seluruh aktivitas PTPN XIV di lahan yang HGU-nya telah berakhir sejak tahun 2003.