Dilansir dari keterangan resmi Gedung Putih, Presiden Indonesia, Joko Widodo akan menggelar pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada tanggal 13 November 2023. Pertemuan ini bertujuan untuk mempererat kerjasama di sektor transisi energi bersih, kesejahteraan ekonomi, meningkatkan stabilitas dan perdamaian, serta mempererat persahabatan antar kedua negara.

Sebagai Wilayah dengan cadangan nikel terbesar, Pulau Sulawesi khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, tentu memiliki andil dan kepentingan dalam pertemuan kedua presiden yang berlangsung hari ini (13/11/2023). Maka dari itu, merespon pertemuan dua pimpinan negara itu, Aliansi Sulawesi Terbarukan yang terdiri dari WALHI Sulawesi Selatan, WALHI Sulawesi Tenggara, dan WALHI Sulawesi Tengah menggelar peluncuran Policy Paper berjudul ‘Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghidupan Masyarakat di Pulau Sulawesi’.

Peluncuran ini diadakan secara hybrid dengan menghadirkan para penanggap yang kompeten di bidangnya yakni Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Abd. Hamid Paddu,M.A., Sunardi Katili Direktur WALHI Sulawesi Tengah sekaligus Perwakilan Aliansi Sulawesi Terbarukan, serta perwakilan dari Masyarakat terdampak yakni Hendrik dan David.

Slamet Riadi, perwakilan penulis Policy Paper Booming PLTU Captive, dalam pemaparannya menjelaskan bahwa komitmen Indonesia terhadap dekarbonisasi dan transisi energi masih sangat jauh dari harapan.

“Ini bisa dilihat dari Perpres 112 tahun 2022 yang masih memberikan peluang yang sangat besar kepada pembangunan PLTU Captive khusus untuk kawasan industri. Dari catatan kami, saat ini ada 12 perusahaan pemilik PLTU Captive di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dengan kapasitas total 5.665 MW dan yang masih tahap konstruksi ada sekitar 4.315 MW. Namun, jika ditelisik lebih dalam data yang kami dapatkan hanya ada tiga induk perusahaan yang mendominasi industri pengelolaan nikel di kedua provinsi tersebut yakni Jiangsu Delong Nickel Industri, Xiamen Xiangyu Group, dan Eternal Tsingshan Group”, Ujarnya.

Dominasi Perusahaan Asal Negeri Tirai Bambu
Pembangunan PLTU Captive di Sulawesi Tengah
Persentase Pemilk PLTU Captive di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara

Tidak hanya total kapasitas pembangkit, Slamet yang juga merupakan Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan ini juga memaparkan bahwa PLTU Captive yang berada di Pulau Sulawesi nyatanya menyumbang kurang lebih 52,1 Juta Ton Emisi Co2/tahun dari konsumsi batubara yang digunakan untuk mengoperasikan captive power yang sudah eksisting.

“Dari hasil hitungan rata-rata, kami menemukan total emisi dari PLTU Captive eksisting saat ini yakni 52,1 Juta Ton Co2/Tahunnya. Tidak hanya berkontribusi terhadap peningkatan emisi, keberadaan PLTU Captive juga memberi dampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar, lingkungan, dan ekonomi masyarakat”, ucap Slamet.

Setelah mempersentasikan temuan Aliansi Sulawesi Terbarukan, Prof Hamid Paddu kemudian menanggapi dan memberikan beberapa komentar terkait dengan peluncuran policy paper ini. Menurut Prof Hamid Paddu, sejatinya program hiliriasi pemerintah harus berdampak langsung bagi masyarakat.

“Untuk berkembang kita butuh yang namanya pembangunan. Akan tetapi pembangunan yang cepat dan massif seharusnya tetap memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, dalam artian tidak merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar. Memang tidak bisa diungkiri ada dampak eksternalitas yang buruk dari suatu pembangunan, namun seharusnya hal ini dirancang mitigasinya melalui intervensi teknologi dan pajak. Namun bisa juga dengan melakukan audit yang ketat atas pengelolaan sumber daya alam, tidak hanya menghitung Marginal Benefit yang diperoleh melainkan juga menghitung biaya sosial yang ditimbulkan, dan yang paling penting ialah memikirkan keterlibatan dan pemerataan akses masyarakat terhadap ekonomi dan pembangunan”, tutupnya.

Selain Prof Hamid, Direktur WALHI Sulawesi Tengah yakni Sunardi Katili juga menjelaskan bahwa kondisi saat ini adalah sebuah ironi, karena kita memiliki cadangan nikel yang melimpah, namun pendapatan masyarakat di sekitar industri justru semakin menurun.

“Makanya, Negara seharusnya mengontrol dan mengawasi dengan ketat perkembangan dan dampak yang ditimbulkan dari Booming PLTU Captive di Pulau Sulawesi ini. Jadi dalam Perpres 112 tahun 2022 tersebut seharusnya diatur hal demikian. Terlebih lagi jika berbicara dampak yang ditimbulkan dimana saat ini banyak masyarakat yang terkena ISPA dan sumber air bersih yang semakin sulit”, Ujar perwakilan Aliansi Sulawesi Terbarukan.

Tanggapan berikutnya yakni dari Masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan industri nikel. Tanggapan pertama dari David dari Desa Toara yang mengemukakan bahwa melalui peluncuran kertas kebijakan ini, kami berharap pemerintah lebih berpihak kepada masyarakat dalam pengambilan kebijakan pengelolaan nikel.

Dampak PLTU Captive bagi Masyarakat Sekitar

Selain David, Hendrik, perwakilan dari masyarakat Desa Tanauge juga berkomentar bahwa kehadiran perusahaan di kampung kami sampai saat sekarang belum mendatangkan kesejahteraan.

“Kami sudah beberapa kali menyuarakan tuntutan kami, seperti dampak lingkungan, akses listrik, serta jalan yang masih buruk. Namun sampai saat sekarang pemerintah belum mendengar aspirasi kami.”, ucapnya.

Rekomendasi Aliansi Sulawesi Terbarukan

Laporan Lengkap Policy Paper ‘Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghidupan Masyarakat di Pulau Sulawesi’