PERNYATAAN PERS WALHI SULAWESI SELATAN (Indonesia)

Atas Penetapan Direktur PT Alefu Karya Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia sebagai Tersangka atas Dugaan Praktik  Penyimpangan Penetapan Harga Jual Tambang Pasir Laut tahun 2020 di Perairan Galesong, Kabupaten Takalar

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan kembali menetapkan dua tersangka dalam kasus korupsi Penyimpangan Penetapan Harga Jual Tambang Pasir Laut yang dilakukan oleh PT Royal Boskalis dengan kapalnya ‘Queen of the Netherlands’ dari februari sampai oktober tahun 2020 di Galesong, Kabupaten Takalar atau di wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng.

Dua tersangka itu berasal dari pihak perusahaan yang melakukan pengerukan pasir di perairan tersebut yakni SY atau Sadimin Yitno Sutarjo (50) selaku Direktur PT Alefu Karya Makmur dan AN atau Akbar Nugraha (29) selaku Direktur PT Banteng Laut Indonesia.

Mereka disebut turut serta atau bersama-sama dengan tiga terdakwa sebelumnya yakni mantan Kepala BPKD Takalar, Gazali Mahmud dan dua mantan Kabid Pajak dan Retribusi Daerah BPKD Takalar tahun 2020, Juharman dan Hasbullah.

Dimana kedua tersangka telah diberikan nilai pasar atau harga dasar pasir laut oleh terdakwa mantan BPKD Kabupaten Takalar sesuai dengan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yang diterbitkan oleh Kepala BPKD Kabupaten Takalar menggunakan nilai pasar/harga dasar pasir laut sebesar Rp7.500 per meter kubik.

Yang dimana Penetapan harga tersebut dikatakan bertentangan dengan peraturan Gubernur dan Bupati di lokasi pertambangan mineral bukan logam di wilayah Kecamatan Galesong Utara, Takalar, yang berupa pengerukan pasir laut yang dilakukan oleh PT. Boskalis Internasional Indonesia dalam konsesi wilayah PT. Alefu Karya Makmur dan PT Benteng Laut Indonesia.

Nilainya bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai pasar atau harga dasar pasir laut yang  telah ditetapkan sebesar Rp10.000 per meter kubik. Nilai pasar atau harga dasar pasir laut ini telah diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor: 1417/VI/TAHUN 2020 tanggal 05 Juni 2020 tentang Penerapan Harga Patokan Mineral Bukan Logam dan Batuan Dalam Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Bupati Takalar Nomor 09.a tahun 2017. Sehingga dengan adanya penurunan harga nilai pasar pasir tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara Pemerintah Kabupaten Takalar sebesar 7 milyar lebih.

Aktivitas tambang pasir laut yang berada di wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng atau perairan Galesong Takalar, dimana nilai atau harga pasir lautnya dikorupsi dan menelan kerugian negara sebesar 7 Miliar, diperuntukkan untuk menyuplai pasir sebagai material pendukung pembangunan reklamasi Makassar New Port. 

Pelabuhan ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun di pesisir Kota Makassar, tepatnya berada di Kelurahan Kaluku Bodoa, Tallo, dan Buloa. Pengerjaan reklamasi dan tambang pasir laut di perairan Spermonde ini dijalankan atas kerjasama oleh berbagai pihak seperti PT Pelindo IV (pemilik proyek reklamasi), PT Pembangunan Perumahan (kontraktor atau pelaksana reklamasi), PT Banteng Laut Indonesia (Pemilik Izin Usaha Pertambangan), PT Alefu Karya Makmur (Pemilik Izin Usaha Pertambangan), dan PT Royal Boskalis (Pelaksana Reklamasi dan Tambang Pasir Laut). Dengan melihat catatan serta fakta kasus tersebut, maka WALHI Sulawesi Selatan melalui pernyataan pers ini mendesak kepada:

  1. Presiden Republik Indonesia Cq Gubernur Sulawesi Selatan Cq Walikota Makassar agar menghentikan pembangunan Makassar New Port dan menghapus zona tambang pasir laut yang berada di wilayah tangkap nelayan.
  2. Gubernur Sulawesi Selatan Cq DPRD Provinsi Sulawesi Selatan agar merevisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2022-2041 yang melegalisasi zona tambang pasir laut dan reklamasi di Sulawesi Selatan.
  3. PT Pelindo IV dan PT Pembangunan Perumahan harus bertanggung jawab atas kemiskinan dan kerusakan yang terjadi di wilayah tangkap nelayan.
  4. PT Boskalis, perusahaan asal Belanda, sebagai mitra PT Pembangunan Perumahan dan PT Pelindo IV harus bertanggung jawab untuk mengembalikan dan memulihkan wilayah tangkap nelayan agar masyarakat dapat bisa melaut seperti sedia kala.
  5. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan harus melakukan investigasi, penyelidikan, serta penyidikan secara menyeluruh sehubungan dengan dugaan praktik korupsi harga pasir laut di perairan Galesong Takalar.
  6. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan juga harus mengusut PT Royal Boskalis sebagai pihak pelaksana reklamasi dan tambang pasir laut, serta memperluas investigasi, penyelidikan, serta penyidikannya terhadap proyek Makassar New Port sehubungan dengan dugaan praktik korupsi harga pasir laut di perairan Galesong Takalar.

WALHI SOUTH SULAWESI PRESS RELEASE (English)

On the Appointment of the Directors of PT Alefu Karya Makmur and PT Banteng Laut Indonesia as Suspects for Alleged Practices of Deviating the Selling Price of Sand Mining for 2020 in Galesong Waters, Takalar Regency

The South Sulawesi High Prosecutor’s Office (KEJATI) has again named two suspects in the corruption case of the Irregularity in Determining the Selling Price of the Pasir Laut Mine carried out by PT Royal Boskalis with his ship ‘Queen of the Netherlands’ from February to October 2020 in Galesong, Takalar Regency or in the fishing area Kodingareng Island fishermen.

The two suspects come from the company that is dredging sand in these waters, namely SY or Sadimin Yitno Sutarjo (50) as Director of PT Alefu Karya Makmur and AN or Akbar Nugraha (29) as Director of PT Banteng Laut Indonesia.

They are said to have participated in or together with the three previous defendants, namely the former Head of the Takalar BPKD, Gazali Mahmud and two former Heads of Tax and Retribution for the 2020 BPKD Takalar Region, Juharman and Hasbullah.

Where the two suspects were given the market value or basic price of sea sand by the defendant, the former BPKD of Takalar Regency in accordance with the Regional Tax Assessment Letter (SKPD) issued by the Head of the Takalar Regency BPKD using the market value/base price of sea sand of IDR 7,500 per cubic meter.

Which is where the price fixing is said to be contrary to the Governor and Regent regulations on non-metal mineral mining sites in the North Galesong District, Takalar, which is in the form of sea sand dredging carried out by PT. Boskalis International Indonesia in the concession area of ​​PT. Alefu Karya Makmur and PT Benteng Laut Indonesia.

The value is contrary to or not in accordance with the market value or the basic price of sea sand which has been set at IDR 10,000 per cubic meter. The market value or basic price of sea sand has been regulated in the Decree of the Governor of South Sulawesi Number: 1417/VI/TAHUN 2020 dated 05 June 2020 concerning Application of Benchmark Prices for Non-Metallic Minerals and Rocks within the Province of South Sulawesi, and Article 5 paragraph (3) Takalar Regent Regulation Number 09.a of 2017. With the decrease in the market value of sand, the Takalar Regency Government’s state financial losses amounted to more than 7 billion.

Sea sand mining activities in the fishing area of ​​Kodingareng Island or Galesong Takalar waters, where the value or price of sea sand is corrupted and causes a state loss of 7 billion, is intended to supply sand as a supporting material for the Makassar New Port reclamation development. This port is one of the National Strategic Projects (PSN) built on the coast of Makassar City, precisely in the Kaluku Bodoa, Tallo and Buloa Villages. 

The work on reclamation and sea sand mining in Spermonde waters is being carried out in collaboration with various parties such as PT Pelindo IV (owner of the reclamation project), PT Pembangunan Perumahan (contractor or executor of reclamation), PT Banteng Laut Indonesia (Owner of Mining Business Permits), PT Alefu Karya Makmur (Owner of Mining Business Permit), and PT Royal Boskalis (Executor of Reclamation and Sea Sand Mine). By looking at the records and facts of the case above, WALHI South Sulawesi through this press statement urges:

  1. The President of the Republic of Indonesia Cq the Governor of South Sulawesi Cq the Mayor of Makassar to stop the construction of the Makassar New Port and remove the sea sand mining zone which is in the fishermen’s fishing area.
  2. The Governor of South Sulawesi Cq DPRD South Sulawesi Province to revise the 2022-2041 South Sulawesi Provincial Spatial Planning which legalizes the sea sand mining and reclamation zones in South Sulawesi.
  3. PT Pelindo IV and PT Pembangunan Perumahan must be held responsible for the poverty and damage that occurs in fishermen’s fishing areas.
  4. PT Boskalis, a company from the Netherlands, as a partner of PT Pembangunan Perumahan and PT Pelindo IV must be responsible for returning and restoring fishermen’s fishing grounds so that people can go to sea as before.
  5. The South Sulawesi High Prosecutor’s Office must carry out a thorough investigation, inquiry and investigation in relation to the alleged corrupt practices in the price of sea sand in the waters of Galesong Takalar.
  6. The South Sulawesi High Prosecutor’s Office must also investigate PT Royal Boskalis as the executor of the reclamation and sea sand mining, and expand their investigations, investigations and inquiries into the Makassar New Port project in relation to alleged corrupt practices in the price of sea sand in Galesong Takalar waters.