Beragam bencana hidrometeorologi seperti curah hujan ekstrem, angin kencang, puting beliung, banjir dan kekeringan telah menjadi tren dan bukti bahwa krisis iklim semakin parah. Senada dengan hal tersebut Panel Ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) dalam laporannya telah menegaskan bahwa jika tidak ingin terjebak krisis iklim kita harus meninggalkan batubara secara total di tahun 2040.
Di lain sisi setiap aktivitas manusia memerlukan energi, kebutuhan manusia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas. Dari kebutuhan energi yang kian meningkat ini juga dibebani oleh adanya mega industri seperti pabrik smelter dan menjadi alasan untuk bergantung pada pembangkit listrik bertenaga batubara sebab dianggap memiliki biaya yang lebih murah. Konsekuensinya, penggunaan energi kotor ini akan berpengaruh pada kehidupan publik dan mempercepat pemanasan global.
Di Desa Punagaya terdapat dua kawasan PLTU. Pertama, PLTU Jeneponto unit I-II dan III-IV dengan kapasitas 2×100 MW (unit I & II) dan 2×135 MW (unit III & IV) yang dikelola oleh PT Bosowa Energi (berdampingan dengan PLTU Punagaya berada di sebelah utara).
Kedua, PLTU Punagaya 2×100 MW, unit #1 dan #2 sudah beroperasi dan telah terkoneksi dengan sistem Sulselbar 150 KV. PLTU ini dimiliki dan dikelola oleh PT PLN Persero (berada di sebelah selatan). PLTU Punagaya adalah salah satu pembangkit listrik tenaga uap yang termasuk dalam program pemerintah untuk pemenuhan listrik 35.000 MW.
Kehadiran kedua PLTU ini selain memperparah krisis iklim, juga menyisakan berbagai persoalan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi. Di awal keberadaannya PLTU masuk ke Desa Punagaya dengan wacana-wacana kemakmuran dan kesejahteraan dengan pelayanan publik yang akan mereka berikan. Namun, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, di mana keberadaan PLTU justru menimbulkan sejumlah persoalan, baik itu secara ekologi, ekonomi, Kesehatan, sosial dan tata ruang dan lahan pertanian warga. Penelitian ini mengulas berbagai dampak tersebut.