MAKASSAR, WALHI SULSEL – Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi (SULOSI) Sulawesi Selatan (Sulsel) meminta Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, merevisi Perpres 112/2022 sebagai wujud keberpihakan pada masyarakat dan lingkungan hidup.

Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi Sulsel ini, terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Greenpeace, Green Youth Movement, MPA TRISULA FIS-H UNM, HIMA PPKn FIS-H UNM, HMJ Manajemen UINAM, HIMATEP FIP UNM dan Balla Tani.

Tim Kampanye Walhi Sulsel, Muhajirin, mengatakan, banyaknya dampak buruk yang terjadi beberapa tahun terakhir, seperti dalam laporan Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 2023, disebutkan 1.750 orang terkena ISPA di Kecamatan Petasia, Morowali Utara. Begitu pun, di Sulawesi Tenggara (Sultra) disebutkan ikan petani tambak mati mendadak karena limbah cair panas PLTU Industri.

“Masalah itulah yang kemudian membuat kami bergerak dan meminta agar PLTU Industri harus segera dimatikan,” katanya saat melakukan aksi di Pantai Losari, Jl Penghibur, Minggu (20/10/2024).

Sekedar diketahui, sejak awal 1990-an, bisnis batubara di Indonesia terus melesat. Bahkan pada 2023, produksi batubara mencapai 775.182 ton rekor tertinggi dalam sejarah.

Dicatatkan, hingga 1 November 2023, ada 948 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), di mana 890, diantaranya telah disetujui RKAB. Dan meski sedang berusaha melakukan transisi energi dan mengurangi penggunaan batubara  yang ditegaskan oleh paket senilai US$20 miliar dalam paket Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia masih memiliki catatan buruk, sebab masih berupaya menyelamatkan pasar batubara dengan membangun beberapa fasilitas pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk keperluan industri hilir nikel (PLTU Captive).

“Dan parahnya, alih-alih menghentikan penggunaan batubara, justru di masa pemerintahan Joko Widodo malah mengeluarkan Perpres No.112/2022 untuk memperpanjang usia batu bara di sektor industri, yang seharusnya mendorong pengembangan energi terbarukan, namun malah masih memberikan celah bagi beroperasinya PLTU berbasis batu bara melalui Pasal 3 Ayat 4 huruf (b), padahal kebijakan ini bertentangan dengan target Net Zero Emission 2060,” kata Hajir.

Tak hanya itu, kata Hajir, 4 provinsi, yakni Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan saja sudah memiliki 11,8 GW, lebih dari 3/4 dari total kapasitas PLTU captive yang sudah beroperasi, dimana mayoritasnya didedikasikan untuk industri nikel. Dengan begitu, secara keseluruhan PLTU captive di 4 provinsi tersebut kini mencapai 88 unit dengan total kapasitas 17,6 GW, tahap operasional sebanyak 69 unit dengan total kapasitas 11,8 GW, konstruksi 18 unit dengan total kapasitas 5,4 GW dan pra izin 1 unit sebesar 0,4 GW. Dari proyek-proyek ini saja diperkirakan menghasilkan emisi 80 mt CO2 per tahun dan akan terakumulasi sebesar 2 Gt CO2 hingga 2050 dan akan terus meningkat jika tidak ada tindakan serius dari pemerintah. Apalagi disebutkan dalam data analisis CELIOS dan CREA, bahwa polusi dari PLTU industri ini diperkirakan menyebabkan 3.800 kematian per tahun, dengan beban ekonomi mencapai Rp41 triliun per tahun.

“Karena itu, dengan melihat segala mudharat yang dibawanya, kami menuntut kepada pemerintahan baru untuk merevisi Perpres No.112/2022, khususnya Pasal 3 Ayat 4 huruf (b) untuk melarang pembangunan PLTU baru, dan menghentikan PLTU industri yang sedang beroperasi dan sedang tahap pembangunan, serta moratorium seluruh izin PLTU berbasis batu bara. Kami juga meminta Presiden Indonesia, Prabowo Subianto untuk mengambil langkah tidak tunduk kepada oligarki batu bara dan segera meninggalkan penggunaan batu bara di sektor industri, serta memulihkan hak lingkungan dan kesehatan bagi masyarakat terdampak, juga menghentikan solusi palsu transisi energi, dan segera wujudkan RUU keadilan iklim,” kata Hajir.

Marwiah Syam Butterflyrock