Makassar – Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel), Slamet Riadi meyakini fenomena pemagaran laut yang sedang viral beberapa waktu terakhir juga ada di Kota Makassar. Dugaan itu dikuatkan dengan hadirnya sejumlah megaproyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir.

Slamet menyampaikan itu saat menjadi narasumber pada kegiatan Diskusi yang bertajuk ‘Politik Ruang dan Polemik Pagar Laut Kota Makassar’, Sabtu, 15 Februari 2025.

Slamet bercerita bahwa reklamasi dulunya tak gampang dilakukan karena regulasinya yang ketat. Selain pertimbangan dampak lingkungan, reklamasi juga dinilai rawan menimbulkan konflik sosial.

“Kalau melihat aspek historis dan legalisasi, dulu itu tidak gampang reklamasi, maka yang biasa dilakukan adalah mekanisme sosial atau mekanisme paksaan. Orang-orang tertentu atau pengusaha menggunakan cara paksaan untuk mengakses sesuatu,” kisah Slamet.

Hanya saja, aturan soal reklamasi di Makassar mulai mendapat kelonggaran pada tahun 2015 silam. Bersamaan dengan itu, sejumlah aktor pengusaha bekerjasama dengan pemerintah untuk meraup keuntungan, dampak lingkungan dan kesenjangan sosial tak lagi jadi pertimbangan utama.

“Tahun 2015 adalah awal mula terbitnya RTRW Kota Makassar, aturan itu melegitimasi dan melegalkan ruang-ruang reklamasi di pesisir Kota Makassar. Empat tahun selanjutnya ada namanya rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil, semakin meneguhkan bagaimana Sulsel ingin punya andil terhadap pembangunan di sektor atau kawasan pesisir. Tahun berikutnya lahir RTRW terintegrasi, jadi aktornya lagi-lagi Pemprov Sulsel menggabungkan peraturan wilayah,” jelas dia.

“Tahun berikutnya di tahun 2023, nasional kembali lagi mengeluarkan PP No. 26 tahun 2023 yang diksinya soal pengelolaan sedimentasi laut. Tapi kalau diperiksa pasalnya, itu untuk kepentingan ekspor pasir laut,” tambah Slamet.

Ia lalu menyinggung fenomena pemagaran laut di sejumlah wilayah, termasuk di wilayah Tangerang yang belum lama ini diributkan sejagat raya. Belakangan diketahui, pemagaran laut itu telah mengantongi izin bahkan telah memiliki sertifikat kepemilikan.

“Isu yang paling hangat adalah soal sertifikat-sertifikat laut. Ini adalah alarm, karena memang dalam kajian infrastruktur, kajian lingkungan, politik ruang memang kalau sudah ada kawasan yang dispesialkan pasti akan melahirkan ketimpangan sosial,” tutur Slamet.

Fenomena itulah yang menguatkan keyakinan bahwa di Makassar juga ada hal serupa. Buktinya, Dinas Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional enggang memberikan keterangan soal itu.

“Makanya kami meyakini bahwa laut yang ada sertifikatnya bukan cuman kawasan TSM, tapi juga di daerah Barombong telah memiliki sertifikat juga. Sayangnya, BPN takut menyebutkan nama, dengan dalih itu bukan informasi publik,” kata Slamet.

Sirkulasi 2 Sungai Besar di Makassar Mandek Gegara Reklamasi

Kini, kata Slamet, dampak buruk reklamasi, khususnya di CPI telah merugikan banyak hal, mulai dari sikulasi aliran dua sungai besar yang terhambat hingga menimbulkan bau tak sedap, hingga krisis air bersih.

“Di pesisir Kota Makassar ini ada dua aliran sungai yang cukup besar dan keduanya butuh sirkulasi yang baik, tapi karena tak diperhatikan, akhirnya mengendap dan membusuk seperti hari ini,” jelas Slamet.

Tak hanya itu, masifnya pembangunan di atas area reklamasi juga telah menimbulkan polemik baru. Sejumlah keluarga di Kecamatan Tallo, Kota Makassar mengalami kesulitan mengakses air bersih selama beberapa tahun terakhir.

“Tahun lalu kami meriset soal air bersih, ternyata memang ada hubungannya antara tumbuhnya 

pembangunan atau infrastruktur di kawasan pesisir barat dengan akses air bersih yang tidak merata, itu dirasakan oleh masyarakat di pesisir utara Makassar, yaitu Kecamatan Tallo,” tutur dia.

Diskusi Soal Pagar Laut dan Reklamasi di Makassar

Menanggapi itu, mahasiswa asal Universitas Gadjah Mada (UGM) bernama Andri juga menyayangkan BPN Kota Makassar yang tak mengutus delegasi sebagai pembicara pada diskusi itu. Absennya BPN, menurut Andri, menjadikan diskusi itu terkesan menyajikan informasi satu arah.

“Sebenarnya sangat disayangkan karena pihak BPN Makassar tidak sempat hadir, akhirnya diskusi kita cenderung satu arah, tidak dapat penjelasan apapun dari pihak pemerintah,” kata dia.

Karena itu, ia sepakat dengan Slamet soal adanya kasus pagar laut di Makassar namun ditutup-tutupi oleh pemerintah.

“Mengenai politik ruang, polemik pagar lau ini sebenarnya sama halnya dengan yang terjadi di Tangerang, bedanya di sana viral di Makassar tidak. Tapi dinamikanya, politik ruang itu ketika kita menilai berdasarkan literatur, ada dua faktor ketika pembangunan sudah mulai dilakukan, pertama adalah pengusaha dan bisnisnya, kedua politisi dengan hak mengeluarkan kebijakan. Permasalahan utamanya adalah ketika politisi juga ikut berbisnis. Harusnya pebisnis dan politisi sama-sama berdiri sendiri. Kalau pebisnis sekaligus politisi, semua hal yang akan dilakukan, termasuk menggunakan kekuasaan dengan cara yang tidak tepat,” jelas dia.

“Sekarang kita mencurigai adanya laut di Makassar yang sudah punya surat hak milik, tapi data-data itu tidak bisa kita akses karena BPN sendiri tak bisa menghadiri diskusi ini. Kita juga tahu bahwa ada keterlibatan pengusaha atau oligarki yang saat ini sedang berkuasa berupaya untuk melakukan reklamasi besar-besaran di pulau Lae-lae, dan tetap berjalan meskipun kebijakan dan amdalnya manipulatif,” imbuh Andri.

WALHI Ungkap Adanya Dugaan Kongkalikong di Kasus Reklamasi CPI

Merespons Andri, Slamet menyebut WALHI Sulsel bukan satu-satunya lembaga yang menyuarakan penolakan terhadap reklamasi CPI karena kompleksitas masalahnya. Sejumlah organisasi, komunitas, dan LBH Makassar juga bahu-membahu mengingatkan pemerintah soal bahaya reklamasi terhadap lingkungan dan sosial.

“Sebenarnya gerakan penolakan reklamasi di CPI bukan cuma WALHI Sulsel, Aliansi Selamatkan Pesisir juga terlibat. Kami mencatat beberapa hasil diskusi bahwa lahan reklamasi di sana waktu itu belum ada perizinan dari KKP, makanya penolakan dalam bentuk unjuk rasa ditegaskan teman-teman aliansi karena tak ada perizinan dari kementerian terkait. Tapi beberapa tahun setelahnya sudah keluar izin dan boleh reklamasi setelah hadirnya aturan bencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” kisah Slamet.

Parahnya, kata dia, kongkalikong antara pemerintah dan pengemban benar-benar diterima oleh pihak pengadilan. Padahal di dalam bukti yang diajukan pengemban terdapat sejumlah data yang dipalsukan.

Selain CPI, Slamet juga menyebut New Port Makassar sebagai proyek reklamasi yang merugikan masyarakat pesisir.

“Soal konsultasi publik, nelayan di Lae-lae juga tidak pernah dilibatkan. Tidak dilibatkannya para nelayan menjadi bahan yang diajukan untuk menolak reklamasi, karena itulah pengacara dari LBH Makassar mendampingi mereka. Tapi gugatan itu ditolak lantaran reklamasi dianggap tidak mencemari lingkungan. Kenapa kami menilai banyak manipulasi pada proyek-proyek besar itu, karena mereka menyebut ada konsultasi publik, lengkap dengan fotonya, tapi orang yang ada fotonya itu bukan bagian dari yang terdampak proyek pembangunan. Bukan hanya di CPI, tapi di Makassar pada umumnya, karena proyek reklamasi juga ada di New Port,” beber dia.

Sejak awal reklamasi di CPI, Slamet menyebut para pengusaha dan pemerintah berjalan beriringan untuk memuluskan rencana mereka. Sayangnya, mereka bahkan tidak peduli dengan nasib warga pesisir, termasuk juga penduduk Pulau Lae-lae.

“Kalau soal perizinan itu memang konsultasi publik rata-rata sangat rentan dimainkan oleh para pengemban bersama pemerintah. Pun ada akademisi yang terlibat dalam Amdal itu mereka juga tidak bisa berbuat banyak, karena yang mengeksekusi dan mengiyakan adalah pemerintah. Dulu gubernur Syahrul Yasin Limpo beralasan reklamasi CPI perlu dilakukan untuk mengatasi wilayah kota Makassar yang semakin padat, dan itu untuk rakyat. Sekarang kita lihat apa yang terjadi, siapa yang menghuni CPI,” tandas Slamet.