Rabu, 30 April 2025, berlangsung secara virtual Diskusi Serial: Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara dengan tema “Tata Kelola Laut Era Prabowo dan Suara Perempuan Tolak Reklamasi”.
Kepala Departemen Riset dan Keterbukaan Publik Walhi Sulawesi Selatan, Slamet Riadi dalam sambutannya menyampaikan bahwa Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara terbentuk di Kota Makassar pada 29 Desember 2023. Terdiri dari beberapa kelompok perempuan yang tersebar diberbagai daerah di Indonesia.
Alasan dibentuknya komunitas ini tidak terlepas dari maraknya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun tidak berpihak pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya perempuan.
“Kita bisa lihat, misalnya PP 26 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut yang melegalkan ekspor pasir laut. Padahal aturan tersebut sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun yang lalu, tapi dihidupkan kembali oleh rezim Jokowi dan dilanjutkan oleh Prabowo” ungkap Slamet.
Dalam diskusi tersebut, menghadirkan dua orang perempuan tangguh yang konsisten dalam mempertahankan ruang hidupnya; Asmania (Perempuan Pejuang Pulau Pari) dan Restin Bangsuil (Ketua Pergerakan Perempuan Tolak Reklamasi Manado).

Asmania, Perempuan Pejuang Pulau Pari, telah berjuang lebih dari 10 tahun sejak tahun 2014 untuk mempertahankan pulaunya dari ancaman reklamasi. Namun, sangat disayangkan, perjuangan yang dia lakukan dan kawan-kawannya justru tidak mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
“Pemerintah tidak hadir, sehingga konflik tidak pernah terselesaikan” ungkap ibu tiga anak itu.
Asmania atau yang akrab disapa Teh Aas juga menjelaskan bahwa kondisi lingkungan yang ada saat ini sejak mulainya reklamasi sudah tidak sebaik dulu. Bahkan, budidaya rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat sudah menurun karena reklamasi. Masyarakat juga banyak yang beralih profesi ke sektor lain seperti pariwisata kemudian dikelola secara swadaya.
“Bukannya diapresiasi oleh pemerintah, justru Pulau Pari diklaim oleh korporasi. Sementara masyarakatnya dikriminalisasi” kata Teh Aas.
Teh Aas tidak akan tinggal diam ketika laut, terumbu karang, dan hutan mangrove di pulaunya dirusak.
“Kami akan terus berjuang. Yang kami perjuangkan bukan hanya untuk kami, tapi untuk generasi yang akan datang. Kami lebih paham bagaimana menjaga pulau kami, yang pasti bukan dengan reklamasi”.
Sementara itu, Restin Bangsuil, Ketua Pergerakan Perempuan Tolak Reklamasi Manado, menjelaskan bahwa Manado terkenal dengan keindahan terumbu karang dan lautnya, misalnya Bunaken. Jika reklamasi terus dilakukan, maka keindahan itu pasti akan rusak.
“Masyarakat terus mempromosikan keindahan Bunaken. Namun, justru pemerintah ingin merusaknya” kata Restin
Selama ini masyarakat hidup dari hasil laut, menjadi seorang nelayan. Meski demikian, mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, menjadi seorang guru bahkan menjadi pagawai negeri, ungkap Restin Bungsuil.

Restin sadar bahwa yang tepat melindungi alam adalah perempuan. Baginya, perempuan adalah wujud yang memiliki kesabaran dalam perjuangan. Meski sering di-bully dan diintimidasi, dia dan kawan-kawannya akan terus menjadi garda terdepan dalam menolak reklamasi di Manado.
“Perjuangan tidak akan berhenti. Kita wajib menjaga hal-hal yang ditipkan ibu pertiwi kepada kita. Jangan biarkan ruang hidup kita dirampas. Kita pasti bisa, karena kita memperjuangkan ciptaan Tuhan. Tuhan pasti bersama kita!” tutup Restin.