Pulau Widi (Dokumentasi Pemkab Halmahera Selatan)

Jaring Nusa, merupakan aliansi dari 18 organisasi, mengecam tindakan penjualan pulau oleh pihak asing termasuk upaya privatisasi pulau-pulau kecil. Berdasarkan aturan perundangan, pulau kecil adalah yang luas daratannya di bawah 2.000 KM persegi bersama kesatuan ekosistemnya.

Penjualan pulau dan privatisasi pulau kecil dapat memberikan dampak negatif kepada masyarakat serta mengancam kelestarian ekosistem pulau kecil, lebih jauh bahkan mengancam kedaulatan bangsa. Pulau tidak untuk dijual atau dikuasai oleh korporasi dan tidak boleh dimiliki secara perseorangan. Pemerintah harus menjamin perlindungan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah didiami oleh masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai wilayah kelola dan ruang hidup yang menopang kehidupan masyarakat secara sosial, ekonomi, budaya dan memiliki keterhubungan dengan alam yang kuat.

Pesisir dan pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya  yang tinggi sekaligus merupakan penyangga kedaulatan bangsa. Pulau-pulau Indonesia perlu dikelola secara adil dan berkelanjutan dengan memperhatikan dan menghormati eksistensi, aspirasi dan partisipasi masyarakatnya.

Dalam seminggu terakhir informasi terkait penjualan pulau di Indonesia mencuat ke publik. Kali ini informasi pelelangan Kepulauan Widi yang berada di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Pada situs lelang berbasis di New York, US, Sotheby’s Concierge Auctions menawarkan Kepulauan Widi yang terdiri atas 100 pulau kecil akan dilelang per 8 Desember 2022. Lebih dari 100 pulau di Kepulauan Widi, atau yang dalam pelelangan disebut Widi Reserve, yang tersebar di kawasan seluas 10.000 hektar.

Adapun lelang tersebut akan dilakukan mulai 8-14 Desember 2022 mendatang. Selain itu di situs privateislandsonline.com  yang membuka penawaran tanggal 8-14 Desember. Diketahui bahwa PT. Leadership Island Indonesia (PT.LII) merupakan korporasi yang  mendapatkan izin pengelolaan pulau Widi dari Pemprov Maluku Utara.

Kasus penjualan pulau di situs-situs asing yang dalam kurun beberapa tahun terakhir mencuat seharusnya disikapi dengan memperketat implementasi regulasi terkait pengelolaan pulau atau hak pemanfaatan terkait wilayah pesisir dan pulau kecil. Penjualan pulau kepada pihak asing tidak dapat dibenarkan dan harus segera dihentikan. Pemanfaatan secara close ownership oleh korporasi maupun tindakan menjual pulau kepada pihak asing merupakan pelanggaran terhadap aturan konstitusi.

Tanggapan layar situs www.privateislandsonline.com terkait informasi pelelangan Kepulauan Widi

Faisal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara, menjelaskan bahwa gugusan kepulauan di Maluku Utara dengan jumlah 395 pulau. Pulau yang dihuni hanya 64 pulau sedangkan pulau yang belum berpenghuni 331 dan salah satunya adalah gugusan kepulauan Widi. Ketiadaan penghuni menurut versus pemerintah hanya disandarkan pada situasi dimana masyarakat tidak menetap di pulau tersebut. Itulah penyebab sering terjadi konflik antara masyarakat dengan pemerintah maupun pihak lainnya.

Faisal menambahkan bahwa gugusan kepulauan Widi telah menjadi penghidupan bagi masyarakat yang berada di pesisir semenanjung Gane baik dalam aspek ekonomi, sosial dan bahkan yang paling penting adalah aspek tradisi dan budayanya. Sehingga meskipun pulau tersebut tidak ada penduduk yang menetap tetapi gugusan pulau tersebut masih terdapat rumah-rumah singgah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan maupun yang berkebun di kepulauan Widi.

“Relasi masyarakat yang ada di Maluku Utara khususnya di semenanjung Gane dengan alam tidak dibatasi oleh terpisahnya pulau-pulau. Justru laut merupakan perekat antara pulau yang satu dengan yang lainnya. Dilelangnya gugusan kepulauan Widi oleh LII merupakan bukti nyata ketidakseriusan pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam melindungi ruang hidup masyarakat di Maluku Utara khususnya di semenanjung Gane,” jelas Faisal.

Penjualan pulau-pulau kepada pihak asing dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan dan harus dihentikan segera. Karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diantaranya:

Pertama, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kata “bumi dan air dan kekayaan alam” dan “dikuasai oleh negara” mengandung arti dan merujuk kepada bahwa pulau-pulau di Indonesia pemilik sesungguhnya adalah negara, sehingga tindakan menjual pulau kepada pihak asing tidak dapat diterima secara konstitusional.

Kedua UUPA Pasal 21 UU No. 25 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara tegas telah melarang pihak asing untuk memiliki tanah atau pulau dalam wilayah Indonesia. Dengan dasar ini juga, maka tertutuplah sudah pihak asing untuk memiliki dan menguasai pulau di Indonesia. Artinya, pihak asing yang berkehendak membeli pulau apabila ditinjau dari aspek hukum pertanahan adalah tindakan bertentangan dengan hukum.

Ketiga, kepemilikan pulau kecil secara pribadi khususnya dengan pihak asing di dalam wilayah Indonesia adalah tindakan yang tidak sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Pengelolaan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UU ini juga ditetapkan bahwa batas pasang atas pulau dan batas pasang bawah pulau adalah milik publik dan tidak dapat diperjualbelikan. Lebih jauh diatur pula bahwa pulau-pulau kecil hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan riset, pendidikan, dan wisata bahari.

Untuk itu Faisal mempertegas bahwa WALHI Maluku Utara mengingatkan pemerintah untuk segera mencabut perijinan yang diberikan kepada PT. LII sesegera mungkin.

Yusuf Sangadji, Direktur Eksekutif Jala Ina menyatakan turut memberikan pernyataannya terkait kasus Kepulauan Widi dengan mendorong pemerintah untuk bersikap tegas melindungi pulau-pulau kecil.

“Apa yang menimpa Pulau Widi saat ini berpotensi terjadi di pulau-pulau lain di Indonesia jika pemerintah tidak bersikap tegas melarang privatisasi seperti ini. Privatisasi pulau adalah pintu masuk bagi kerusakan yang akan terjadi di pulau-pulau kecil.  Pulau tak berpenghuni juga punya ekosistem dan fungsi yang harus dijaga,” terangnya.

Yusuf menyampaikan bahwa privatisasi hanya memperbesar peluang terjadinya kerusakan pada berbagai biota laut dan ekosistem karena pasti akan ada pembangunan dan alih fungsi lahan yang mempengaruhi keseimbangan alam. Belum lagi jika ada pembangunan yang berpotensi merusak wilayah tangkap nelayan.

Dalam hal ini, nelayan juga berpotensi di kriminalisasi jika pulau-pulau itu dijual karena mereka terbiasa melakukan aktivitas di sekitar pulau dan menjadikan pulau itu sebagai salah satu sumber penghidupan.

“Pemerintah Indonesia harus tegas dan mengkaji ulang berbagai perizinan yang diajukan oleh investor. Jangan hanya karena investasi, justru merusak ekosistem dan eksistensi masyarakat kepulauan di Indonesia,” jelas Yusuf.

WALHI Sulsel juga turut mengecam penjualan Kepulauan widi di Maluku Utara. Menurut Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin, penjualan pulau-pulau kecil di Maluku Utara adalah langkah paling keliru yang dilakukan korporasi. Pasalnya pulau-pulau kecil di kepulauan Widi adalah aset negara yang juga merupakan aset publik yang tidak boleh diprivatisasi oleh siapapun.

“Bagi saya, tidak bisa dibenarkan adanya penjualan pulau-pulau di Indonesia. Pemerintah harus menghentikan rencana lelang tersebut. Pemerintah juga harus menindak dan mencabut izin PT Leadership Island Indonesia di Kepulauan Widi,” jelas Amin.

Menurut Al Amin, praktek penjualan pulau juga pernah terjadi di Sulawesi Selatan. Tepatnya di Kabupaten Kepulauan Selayar. Namun karena ditentang oleh masyarakat, akhirnya pemerintah menghentikan penjualan pulau tersebut dan pelaku ditindak oleh polisi.

“Saya berharap warga Maluku Utara juga bersikap keras untuk menentang dan menghentikan penjualan Kepulauan Widi. Apalagi, pulau-pulau kecil di kepulauan itu kaya akan keanekaragaman hayati laut,” lanjut Amin.

Penjualan pulau di situs online luar negeri sebelumnya pernah beberapa kali terjadi misalnya pulau Pendek di Buton Sulawesi Tenggara, pulau Gili Tangkong Lombok Barat NTB, Pulau Ayam dan Ajab di Anambas kepulauan Riau, pulau Pungu di Manggarai barat NTT. Namun selain penjualan pulau di situs online luar negeri, konflik pengelolaan pulau antar masyarakat dan perusahaan investor juga terus terjadi salah satunya di pulau Pari kepulauan Seribu.

Amin Abdullah, Direktur LPSDN Lombok Timur, menyampaikan kasus-kasus konflik pengelolaan pulau yang pernah terjadi di NTB.

“Gili yang dikelola Pemerintah dan pengusaha tidak hanya mengusir nelayan tapi juga usaha perikanan dan rumput laut tidak boleh dilakukan warga, seperti yang telah terjadi di Gili Sunut.  Di Lotim, pemerintah dan perusahaan dari Singapura menjadikan pulau sebagai lokasi resort, pulau dengan luas 7 ha, dulu hanya berpenghuni 110 KK, kemudian oleh Pemkab dan perusahaan merelokasi warga dari pulau tersebut. Model pengelolaan ini adalah adalah salah satu strategi untuk memindahkan masyarakat,” ungkap Amin.

Syarifudin Azhari Kilbaren, Direktur Tunas Bahari Maluku, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terutama pada Kawasan timur Indonesia. Masyarakat dan pulau kecil tidak bisa terlepas dipisahkan, mengingat pulau kecil adalah rumah bagi masyarakat di pesisir timur Indonesia dan memiliki adat dan budaya yang mengatur terkait pengelolaan dan pemanfaatan pulau kecil.

“Maka sudah barang tentu pemerintah seharusnya mengedepankan masyarakat dalam hal pengelolaan pulau kecil. Pulau-pulau kecil tidak untuk diperjual belikan apalagi memprivatisasi pulau kecil adalah salah satu upaya perampasan ruang hidup bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil,” jelas Azhari.

Aktivitas masyarakat di Pulau Banda Neira (Dokumentasi: Jaring Nusa)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah menjelaskan bagaimana cara pemanfaatan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Khususnya masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil serta untuk menjaga kedaulatan negara. Pemanfaatan dan penguasaan pulau oleh perseorangan atau korporasi tidak dapat dibenarkan karena hal ini akan mengeliminasi masyarakat yang menjadikan pulau sebagai wilayah kelola atau ruang hidupnya dan ini juga berpotensi mengancam kedaulatan negara seperti kasus penjualan pulau di situs asing.

Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa, menyatakan bahwa kasus-kasus penjualan pulau maupun konflik-konflik pengelolaan pulau antara korporasi dan masyarakat  telah berulang kali terjadi. Ini mengindikasikan bahwa ada masalah serius terkait pengelolaan pulau kecil di Indonesia.

“Pemerintah baik pusat dan daerah harus segera melakukan upaya mengevaluasi semua perizinan terkait pengelolaan dan pemanfaatan pesisir pulau kecil oleh korporasi dan segera mencabut izin yang bermasalah, baik itu terkait penjualan pulau, privatisasi, industri ekstraktif, tumpang tindih peruntukan dan tata ruang, konflik dengan masyarakat maupun korporasi yang merusak lingkungan,” ungkapnya.

Asmar menambahkan bahwa Jaring Nusa melalui diskusi internal menyikapi kasus penjualan pulau di KTI pada Jumat, 02 Desember 2022,  juga menuntut pemerintah untuk memberikan jaminan keselamatan dan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir pulau kecil, memberikan jaminan keberlanjutan ruang hidup masyarakat dan ekosistem pulau kecil sekaligus memastikan benteng kedaulatan dengan terjaganya pulau oleh komunitas-komunitas baik masyarakat lokal atau adat.