Oleh : Ariobimo Herlambang

Pada negara demokrasi yang ideal, peran masyarakat sipil dan aktivismenya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Aktivisme ini pun dijalankan dengan objektif emansipatoris & transformasional, berharap apa yang mereka suarakan tidak menjadi wacana belaka. Diantara berbagai aktivisme tersebut, sejak abad ke-20, salah satu aktivisme yang menguat tidak lain hadir dari kelompok pencinta lingkungan (environmentalist) yang menyerukan perhatian dan kekhawatiran mereka terhadap polusi lingkungan.[1] Di sisi lain, dalam ruang waktu yang sama, aktivisme kelompok feminisme juga mulai muncul ke permukaan, mengadvokasikan kesetaraan gender & menolak dominasi androsentrisme (paham yang menjadikan pengalaman laki-laki sebagai norma universal dunia).

Kini, di abad-21, emergensi iklim (climate emergency) dunia telah mencapai titik kritisnya[2], kerja sama antara kelompok pencinta lingkungan dan feminis—yang keduanya memiliki kaitan erat—pun sangat dibutuhkan dalam memerangi wacana (discourse) dominan masyarakat yang menomorduakan perlindungan lingkungan hidup. Melalui esai ini, penulis akan menjelaskan mengapa penyelarasan harmoni antara aktivisme kelompok pencinta lingkungan hidup dan feminis perlu dilakukan. Secara sistematis, esai ini akan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) pertama, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu titik temu antara perjuangan kelompok pencinta lingkungan dengan kelompok feminis; (2) Selanjutnya, esai akan diteruskan dengan argumen terkait mengapa kerja sama antara kelompok pencinta lingkungan dan feminis untuk menyelamatkan lingkungan hidup menjadi penting; barulah diakhiri dengan (3) kesimpulan sebagai penutup.

Konvergensi Perjuangan Kelompok Pencinta Lingkungan dan Feminis: Kaitan Erat Antara Patriarki dan Antroposentrisme

Aktivisme dari kelompok pencinta lingkungan telah melalui transformasi historis yang panjang. Pada awalnya, terdapat dua perspektif dominan di antara kelompok pencinta lingkungan yaitu perspektif pelestarian dan konservasi. Kelompok pelestarian melihat jika sebagian alam harus dijaga dan dipisahkan dari kehidupan manusia namun tetap dialokasikan untuk tujuan manusia seperti rekreasi, sementara kelompok konservasi secara utilitarian berpendapat jika alam perlu dikonservasi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan agar generasi di masa depan tetap dapat memanfaatkannya.[3] Pandangan ini pun mendapatkan kritik karena masih terlalu antroposentris (manusia-sentris) karena melihat alam sebagai sesuatu yang bernilai hanya karena dapat dimanfaatkan manusia, pandangan ini juga dikenal dengan istilah shallow ecology.[4] Berangkat dari kritik sebelumnya, akhirnya muncul sebuah perspektif lingkungan ‘deep ecology’ yang mempromosikan biosentrisme. Salah satu tokoh deep ecology adalah Leopold yang melihat jika bumi merupakan sistem kehidupan, persimpangan elemen-elemen yang terjalin secara rumit dan saling bergantung yang berfungsi bagi keseluruhan organisme, karena itu suatu kerusakan di sistem akan memengaruhi seluruh sistem.[5] Deep ecology pun sangat menolak pandangan antroposentrisme yang selama ini menjadi wacana dominan dan menganggap jika alam adalah sesuatu yang harus dikuasai, & dimanfaatkan oleh manusia.[6]

Dari perspektif  Deep ecology di atas lah konvergensi antara perjuangan kelompok pencinta lingkungan dan feminis terbentuk. Mengapresiasi pandangan deep ecology yang telah mendekonstruksi wacana hubungan manusia-alam ala Barat, kelompok feminis (khususnya ekofeminis) melihat jika perspektif ini hampir sempurna hanya saja mereka melihat jika di sini masalah utama dari kerusakan lingkungan hidup adalah androsentrisme dan bukan antroposentrisme.[7] Ekofeminis Karen J. Warren pun mengelaborasikan argumen tersebut dengan menjelaskan kerangka konseptual patriarki yang terdiri dari tiga elemen yaitu: (1) value-hierarchial thinking yang mempromosikan cara pikir “atas-bawah” dan akhirnya memandang jika apapun yang berada di atas lebih baik daripada apa yang ada di bawah; (2) dualisme nilai yang memasangkan dua hal oposisional secara hierarkis (misal “pengetahuan”, “logika”, dan “laki-laki” lebih tinggi dibandingkan “benda”, “emosi” dan “perempuan”); yang akhirnya menciptakan (3) logika dominasi. Dari kerangka konseptual patriarki ini lah dominasi terhadap perempuan dan alam dijustifikasi. Carol Adams lebih lanjut menjelaskan jika terdapat kaitan erat antara perempuan dan alam sebagai objek yang dikonsumsi dalam budaya androsentris. Perempuan dan binatang misalnya sama-sama mengalami siklus objektifikasi (hewan sebagai makanan sementara perempuan sebagai objek seks), fragmentasi (hewan dipotong-potong per bagian untuk dimakan sementara bagian tubuh perempuan dibagi-bagi berdasarkan fetish), dan dikonsumsi (misalnya ayam dikonsumsi di restoran, perempuan dikonsumsi lewat hasil pornografi).[8] Akhirnya, perempuan dinaturalisasi dalam arti mereka seringkali dideskripsikan dalam istilah binatang seperti “chicks, foxes, bitches, pussycats” sementara alam difeminisasi karena telah diperkosa, dikuasai, dikontrol, dipenetrasi, dan ditundukan oleh laki-laki.[9] Karena itu, terdapat kaitan langsung antara penindasan terhadap perempuan dan penindasan terhadap alam, memberikan basis bagi kerja sama antara kelompok pencinta lingkungan dan feminis dalam melawan androsentrisme dan pola pikir patriarki yang didasari pada dominasi dan hierarki.

Alasan dibalik Pentingnya Penyelarasan Aktivisme Kelompok Pencinta Lingkungan & Feminis dalam Perjuangan Melindungi Lingkungan Hidup

Setelah mengetahui kaitan erat antara perjuangan kelompok pencinta lingkungan dan feminis, langkah berikutnya adalah memahami mengapa penyelarasan aktivisme pencinta lingkungan & feminis menjadi penting. Adapun, penulis melihat jika pentingnya penyelarasan dan kerja sama ini didasari oleh keuntungan yang mungkin didapatkan dari konvergensi perjuangan kedua kelompok dalam melindungi lingkungan hidup—dan perempuan—mengingat musuh dan masalah utama bagi keduanya adalah logika dominasi dari budaya patriarki, baik terhadap perempuan maupun alam.

Keuntungan dari penyelarasan dan kerja sama ini mencakup diantaranya: (1) meluasnya jejaring massa karena perluasan agenda kedua kelompok. Akhirnya, agenda kelompok pencinta lingkungan yang berfokus pada mengakhiri eksploitasi manusia terhadap lingkungan, kini diperluas menjadi perjuangan melawan dominasi manusia terhadap lingkungan dan perempuan sebagai subjek yang seringkali diasosiasikan pada alam karena pasif & bersifat reproduktif. Di lain sisi agenda kelompok feminis juga diperluas, dari perjuangan melawan dominasi pemikiran patriarki terhadap gender lain menjadi perjuangan melawan dominasi pemikiran patriarki terhadap bumi dan seisinya. Dari sini, peran perempuan terhadap revolusi ekologis menjadi sentral sementara sebaiknya, peran revolusi ekologis terhadap perempuan juga sama sentralnya; selanjutnya, berkaitan dengan poin pertama keuntungan berikutnya adalah (2) meningkatnya kekuasaan (power) dari aktivisme kedua kelompok karena peningkatan basis dukungan yang ada. Dengan bargaining power dan basis massa yang lebih besar, pemangku kepentingan (baik pemerintah maupun korporasi) yang terus melakukan eksploitasi terhadap lingkungan hidup dapat ditekan secara lebih keras; berikutnya (3) dengan kekuasaan yang lebih besar karena meningkatnya basis dukungan yang ada, wacana dominan yang ada—wacana patriarki—dapat perlahan-lahan digeser kepada diskursus yang lebih inklusif; dengan begitu keuntungan terakhir dan terpenting yaitu (4) dimungkinkannya identifikasi akar penyebab (root-causes) dari eksploitasi terhadap lingkungan dan perempuan sebagai pelestari lingkungan hidup yaitu budaya patriarki dan androsentrisme.

Sebagai langkah kedepan, penulis berpendapat jika kedua kelompok perlu melakukan dialog secara lebih intensif. Kedua kelompok—baik kelompok pencinta lingkungan dan feminis (khususnya feminis arus-utama)—juga perlu memperluas diskusi dan cakupan isu yang menjadi fokus perhatian mereka. Dari sini, peran akademisi pun menjadi sentral baik untuk menyebarluaskan wacana baru (terkait neksus antara perjuangan perlindungan lingkungan hidup dan perjuangan melawan patriarki) maupun memberikan perspektif baru bagi para praktisi, aktivis, maupun masyarakat dalam melihat isu perlindungan lingkungan lewat sudut pandang yang lebih luas.

Kesimpulan Dapat disimpulkan jika tradisi androsentrisme dan budaya patriarki yang terdiri dari tiga elemen esensial yaitu cara pikir hierarkis, dualisme nilai, dan logika dominasi merupakan akar penyebab dari kehadiran eksploitasi lingkungan hidup dan perempuan. Akhirnya, perempuan “dinaturalisasi” dalam arti mereka seringkali dideskripsikan dalam istilah binatang seperti “chicks, foxes, bitches, pussycats” sementara alam “difeminisasi” karena telah diperkosa, dikuasai, dikontrol, dipenetrasi, dan ditundukan oleh laki-laki. Dari sini, batas perjuangan antara kelompok pencinta lingkungan dan kelompok feminis menjadi kabur. Kini, ketika dunia berada pada ambang emergensi iklim, penyelarasan aktivisme antara kelompok pencinta lingkungan dan feminis sangat dibutuhkan, hal ini didasari oleh keuntungan yang dibawa oleh kerja sama keduanya, hal mencakup: (1) meluasnya jejaring massa & basis pendukung; (2) meluasnya kekuasaan dari pergerakan yang ada; (3) dimungkinkannya penggeseran diskursus patriarki dominan; dan (4) teridentifikasinya akar penyebab dari terjadinya eksploitasi. Sebagai langkah kedepan, penulis berpendapat jika kedua kelompok—baik kelompok pencinta lingkungan maupun kelompok feminis—perlu melakukan dialog secara lebih intensif serta memperluas perhatian dan cakupan isu mereka. Selain itu peran akademisi menjadi sentral baik dalam memperkenalkan wacana baru maupun memberikan perspektif baru bagi para praktisi, aktivis, maupun masyarakat dalam melihat isu perlindungan lingkungan lewat sudut pandang yang lebih luas.


  • [1] Nikolay L. Mihaylov & Douglas D. Perkins, “Local Environmental Grassroots Activism: Contributions from Environmental Psychology, Sociology and Politics,” Behavioral Sciences, Vol. 5, (2015): hlm. 121-153
  • [2] Justine Calma, “2019 was the year of ‘climate emergency’ declarations”, The Verge, diakses pada 30 April 2020 melalui https://www.theverge.com/2019/12/27/21038949/climate-change-2019-emergency-declaration
  • [3] Mihaylov & Perkins (2015) Op. Cit. hlm. 123
  • [4] Rosemarie Tong, “Ecofeminism,” dalam Rosemarie Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, (Philadelphia: Westview Press, 2014): hlm. 258
  • [5] Aldo Leopold, “The Land Ethic,” In A Sand County Almanac: With Other Essays on Conservation from Round River.New York: Oxford University Press, 1987.
  • [6] Mihaylov & Perkins (2015) Op. Cit. hlm. 124
  • [7] Rosemarie Tong (2014) Op. Cit. hlm. 255-257
  • [8] Carol J. Adams,  The Sexual Politics of Meat: A Feminist Vegetarian Critical Theory”, (New York: The Continuum International Publishing Group Inc, 2010)
  • [9] Rosemarie Tong (2014) Op. Cit. hlm. 255-256