Oleh : Farizky Hisyam

Tahun 2019 menjadi milestone bagi Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah setempat telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan nomor 3 tahun 2019 mengenai “Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Karst Maros Pangkep.” Selama ini manusia cenderung memandang karst dalam kawasan ekosistem esensial  layak untuk dieksploitasi. Karst dengan batugamping telah diincar sebagai bahan baku yang memasok industri semen.

Luas karst total di Maros-Pangkep sebesar 46.200 hektar. Sebesar 22.800 hektar dari kawasan karst itu merupakan bagian dari Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Ahmad dan Hamzah, 2016). Karst yang berada di luar kawasan konservasi (sekitar 23.200 hektar) itulah yang ditetapkan sebagai kawasan ekosistem esensial. Dari laporan akhir tahun 2018 Walhi Sulawesi Selatan, tercatat 24 perusahaan memiliki izin usaha di Kecamatan Tandong Tallasa, Kabupaten Pangkep sedangkan 32 perusahaan pertambangan beroperasi di Kabupaten Maros.

Pada tahun yang sama, Sulawesi Selatan melakukan progres yang patut diapresiasi dengan ditandatanganinya nota kesepahaman pembangunan rendah karbon (PRK) dengan yang selaras dengan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2019-2024. Dalam nota itu disepakati bahwa Provinsi Sulawesi Selatan menetapkan target penurunan emisi sebesar 5,6% dari bisnis yang berjalan seperti biasanya pada 2030, mencakup bidang berbasis lahan, energi, dan pengelolaan limbah (ICCTF, 2019). Dengan tonggak sejarah yang dicapai di tahun 2019 itu, baik Peraturan Daerah maupun nota yang telah disepakati, seharusnya sejalan dalam mencapai tujuan melindungi karst Maros-Pangkep sekaligus mengurangi kadar karbondioksida (CO2) dalam PRK.

Peran karst dan iklim telah didiskusikan dalam sejumlah forum internasional (Cahyadi, 2010). Pada tahun 1990-1994 diagendakan program UNESCO/IUGS IGCP 299 dengan tema “Geologi, Iklim, Hidrologi dan Formasi Karst”. Program ini dilanjutkan dengan UNESCO/IUGS IGCP 379 yang bertemakan “Karstifikasi dan Siklus Karbon” pada tahun 1995-1999. Dari forum tersebut, diketahui bahwa karst merupakan bagian yang tidak bisa terpisah dari siklus karbon.

Mitigasi dalam menyelesaikan permasalahan perubahan iklim didefinisikan oleh Program Lingkungan PBB sebagai upaya untuk mengurangi sekaligus mencegah emisi GRK, khususnya karbondioksida, di atmosfer dalam jangka waktu panjang. Dalam perjalanannya, upaya yang dapat dilakukan dalam memitigasi perubahan iklim adalah penangkapan dan penyimpanan karbon. Artinya, karbondioksida yang ada di atmosfer akan ditangkap dan selanjutnya disimpan dalam jangka waktu lama di suatu medium. Salah satunya adalah melalui proses pembentukan karst (karstifikasi).

Karenanya, dalam tulisan ini akan diulas mengenai peran karst Maros-Pangkep beserta jumlah karbon yang dapat ditangkap oleh sistem esensial karst Maros-Pangkep dalam upaya mengurangi karbondioksida sebagai gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Karst merupakan bentang lahan dengan batuan yang mudah larut (IUCN, 2008), khususnya batuan karbonat, yang dicirikan dengan keberadaan goa dan sistem aliran air bawah tanah di dalamnya. Untuk terbentuk bentang alam karst diperlukan syarat berupa batuan karbonat tebal dengan rekahan-rekahan, serta curah hujan tinggi. Dalam perkembangan selanjutnya, pembentukan karst melibatkan tiga siklus, yaitu siklus karbon, kalsium, dan air serta interaksi tiga sistem, di antaranya atmosfer, litosfer, hidrosfer, dan biosfer. Pergerakan kulit Bumi yang berlangsung terus-menerus menyebabkan batugamping mengalami tekanan hingga timbul rekahan-rekahan. Air hujan yang menyusup akan melarutkan dinding rekahan, memperluas hingga terbentuk goa. Batugamping mudah sekali larut, khususnya melalui air hujan yang bersifat asam lemah.

Air hujan bereaksi dengan karbondioksida (CO2) di atmosfer sehingga terbentuk asam lemah yang dikenal asam karbonat (H2CO3). Asam ini bersifat tidak stabil sehingga begitu terbentuk dan mencapai permukaan tanah, akan terurai menjadi ion hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3). Selanjutnya, ion hidrogen bereaksi dengan mineral-mineral dalam batugamping, yaitu kalsium karbonat (CaCO3). Ion hidrogen akan menggantikan ion kalsium (Ca2+) sehingga terbentuk ion bikarbonat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa  terdapat dua asal molekul ion bikarbonat, yaitu dari air hujan dan dari pelarutan batugamping. Selanjutnya, karbondioksida, asam bikarbonat, dan ion hidrogen akan terakumulasi ke permukaan mineral. Setiap pelarutan 1 molekul mineral batugamping akan memproduksi dua molekul ion bikarbonat serta menyerap satu molekul karbondioksida dari atmosfer. Umumnya, setiap pelarutan satu ton batugamping akan menyerap 120 kilogram karbondioksida dari atmosfer maupun dari material organik yang mengalami pembusukan (Haryono, 2009). Inilah peran penting karst dalam melakukan penangkapan karbondioksida dari atmosfer.

Peran vital karst Maros-Pangkep sebagai penangkap gas karbondioksida di kawasan tropis, khususnya Sulawesi Selatan sangatlah penting. Sebab, wilayah Sulawesi Selatan dilalui oleh Daerah Konvergensi Antar Tropis (DKAT), yaitu daerah pertemuan dua angin pasat di atas ekuator (Cahyadi, 2010). Angin pasat bertiup dari 30 derajat lintang utara dan 30 derajat lintang selatan yang masing-masing menuju wilayah ekuator. Selain menimbulkan hujan lebat, DKAT juga memungkinkan gas karbondioksida maupun GRK lainnya dari lintang subtropis akan ikut mengalir bersama pergerakan udara ke wilayah ekuator (Haryono, 2011).

Balasz (1971) dalam Haryono (2011) telah melakukan proses pengambilan sampel dan pengukuran parameter tersebut di wilayah karst Maros. Untuk menghitung jumlah karbondioksida yang mampu ditangkap selama pelarutan karst diperlukan data berupa curah hujan, laju penguapan, dan konsentrasi kalsium karbonat yang terlarut di air yang diperoleh dari sampel sumber air di karst. Dari ketiga parameter ini akan diperoleh laju pelarutan karst.

Dari perhitungan diperoleh bahwa laju pelarutan karst di karst Maros sebesar 83 m3/tahun/km2. Nilai ini sedikit di atas nilai rata-rata pelarutan karst nasional, yaitu 82,9 m3/tahun/km2. Dengan fakta bahwa luas karst Maros di kawasan ekosistem esensial sebesar 24.413 hektar serta berat jenis batugamping sebesar 2.640 kg/m3, diperoleh data bahwa laju pelarutan karst di wilayah tersebut setiap tahunnya sebesar 6.419,25 ton karbon atau setara dengan 23.537,26 ton gas karbondioksida. Tentunya, nilai ini akan bertambah apabila melibatkan seluruh wilayah karst Maros-Pangkep di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung yang luasnya 43.750 hektar, yaitu menyerap karbon 11.503,8 ton atau setara dengan 42.180,6 ton per tahun. Nilai ini belum termasuk porsi karbondioksida yang ditangkap melalui proses fotosintesis oleh vegetasi yang berada di kawasan karst Maros-Pangkep. Perkiraan cadangan karbon dari vegetasi di kawasan karst tersebut berkisar 74.29-244,82 ton per hektar (Berita Satu, 23 April 2016).

Perlindungan kawasan karst Maros-Pangkep akan sejalan dengan program yang dicanangkan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan tentang pembangunan berkarbon rendah. Dari penjelasan sebelumnya, karst sebagai kawasan ekosistem esensial tersebut mampu dijadikan sebagai mitigasi perubahan iklim.

Berdasarkan aplikasi Indonesia Climate Data Explorer – PINDAI emisi tahunan di Sulawesi Selatan tahun 2010 merupakan yang tertinggi di Pulau Sulawesi, mencapai 13,85 MtCO2e (mega ton karbondioksida ekivalen) yang bersumber dari energi, transportasi, dan industri. Sementara itu, dengan mengecualikan serapan karbon oleh vegetasi, kawasan ekosistem esensial karst Maros-Pangkep mampu menyerap 6.419,25 ton karbon atau 23.537,26 ton gas karbondioksida per tahun melalui proses pelarutan batuan karbonat.

Apabila dibandingkan dengan jumlah karbondioksida yang diserap oleh pelarutan karst, nilai emisi karbon Sulawesi Selatan jauh lebih besar. Namun, upaya pelestarian kawasan karst sebagai daerah tangkapan karbon akan membantu meringankan target ambisius pemerintah setempat yang mencanangkan penurunan emisi sebesar 5,6%.

Kita juga tidak boleh melupakan bahwa melestarikan karst juga tidak hanya mengenai masalah serapan karbon, melainkan juga ketahanan air bersih di kawasan penyangga karst. Simulasi yang dilakukan terhadap prediksi iklim di Indonesia berdasarkan data tahun 1961-1990 oleh Hulme dan Sheard, 1999 (Case dkk., 2007) menunjukkan adanya perubahan pola hujan di wilayah Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan. Telah terjadi penurunan curah hujan di wilayah selatan Indonesia hingga 15%. Hal ini diperparah dengan fenomena El Niño yang menyebabkan bencana kekeringan di Indonesia lebih sering terjadi. Padahal, syarat utama untuk pembentukan karst adalah ketersediaan air hujan yang melimpah sebagai medium pelarutan.

Sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan pola curah hujan di kawasan Maros-Pangkep beserta kawasan penyangganya, maka kawasan ekosistem esensial karst berperan sebagai tandon sekaligus pemasok kebutuhan air di wilayah tersebut. Kehilangan karst akan menyebabkan air hujan melimpas secara langsung di permukaan sehingga menimbulkan banjir dan erosi di musim penghujan. Sebaliknya di musim kemarau, terjadi kekeringan karena tidak ada lagi batuan karbonat yang menyimpan air di bawah tanah.

Dengan demikian, pelestarian kawasan ekosistem esensial karst Maros-Pangkep merupakan sebuah keniscayaan apabila ingin mencapai target pertumbuhan rendah karbon sekaligus memitigasi perubahan iklim.