Oleh : Firsta Vhe Karvina
“Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu” ungkapan dari lirik lagu yang menggambarkan batapa besar kekayaan maritim Indonesia. Berbagai sudut perairan membawa kehidupan bagi manusianya. Tidak hanya ikan, kerang, rumput laut dan mutiara, keindahan bawah laut yang dipenuhi berbagai jenis karang berwarna-warni membuat kita juga kaya dengan keindahan visualnya. Presiden pertama RI, Ir. Soekarno pernah berpesan “Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya”. Namun, apakah segalanya telah sejalan? Apakah peribahasa manis tentang potensi laut Indonesia yang selalu dilantangkan akan tetap sesuai dengan kenyataan? Ketika ledakan bom semakin sering terdengar di tengah lautan, ketika pukat harimau telah dibentangkan, ketika sampah dan limbah terus dialirkan ke lautan. Karang yang memenuhi lantai lautan rata menjadi serpihan, dan biota laut kehilangan tempat tinggal. Hampir seluruh benih mengalami kematian, dan ikan-ikan yang belum lama menetas ikut diangkut masuk ke dalam kapal. Tidak ada lagi regenerasi biota laut untuk memenuhi kebutuhan. Jika sudah terjadi, akankah kail dan jala masih cukup untuk menghidupi?
Kepulauan Spermonde atau Kepulauan Sangkarang adalah kepulauan yang terdiri dari sekitar 120 pulau di lepas pantai barat daya Sulawesi, yang terletak antara lengkungan selatan Sulawesi dan Selat Makassar. Kepulauan ini terdiri dari sekitar 50 pulau tervegetasi dan 70 berupa gundukan pasir. Kepulauan Spermonde merupakan sebuah kepulauan yang “pernah” memiliki kekayaan potensi laut baik dari sumber daya biota, maupun potensi keindahan bawah lautnya. Menurut LIPI (2016), pada tahun 1983, ilmuwan mencatat terdapat 262 spesies karang sebagai tempat hidup, pemijahan, dan pembesaran ikan di Kepulauan Spermonde, yang kini hanya tinggal menjadi catatan sejarah belaka.
Pemanfaatan sumber daya yang tidak memerhatikan regenerasi lingkungan, seperti aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom, pukat harimau, racun (sianida), serta pembuangan limbah ke laut marak terjadi di Kepulauan Spermonde. Padahal Menurut Haya et al (2004) Penggunaan bom secara berkala dapat meningkatkan kematian terumbu karang 50% sampai 80%, sementara penggunaan racun memberikan dampak ganda berupa kerusakan karang, serta kematian larva dan ikan kecil. Hal tersebut menjadi faktor yang mendasari penyebab kerusakan karang paling besar di Kepulauan Spermonde dan menjadi pemicu berbagai problematika lingkungan, yang akhirnya akan menjadi dampak berantai yang mengacaukan berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rauf et al(2004) menggunakan analisis spasial data Landsat_TM, diperoleh tingkat kerusakan terumbu karang di Kepulauan Spermonde yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun yakni mencapai 1.499,86 Ha per tahun dengan rata-rata penutupan sekitar 50,98%. Dapat dilihat dalam kutipan, pada kurun waktu tersebut penutupan terumbu karang di Kepulauan Spermonde tinggal mencapai setengahnya meskipun masih dalam kategori baik, tetapi jika melihat faktor kerusakan antropogenik yang terus berjalan dan semakin diperparah, tidak menutup kemungkinan bila saat ini penutupan terumbu karang sudah kurang dari 50%.
Kerusakan terumbu karang, tidak hanya memberikan dampak secara ekologis seperti hilangnya pelindung alami kawasan pantai, hancurnya keseimbangan ekosistem laut, dan musnahnya kekayaan biodiversitas di dalamnya. Rusaknya terumbu karang juga berarti hilangnya daya tarik wisata dan sumber makanan, serta tempat memijah biota laut yang bernilai tinggi. Hal itu menyebabkan menurunnya hasil laut dan jumlah wisatawan secara drastis, yang merupakan sumber pemasukan berpotensi besar bagi masyarakat sekitar dan negara. Dwi Soetjipto, Pengurus Alumni ITS (2018) mengatakan bahwa dibandingkan negara lain yang memiliki laut lebih kecil dari Indonesia seperti Jepang dan Vietnam mampu memberi kontribusi sektor kelautan antara 48-57% terhadap GDP, sedangkan Indonesia yang memiliki wilayah laut yang sangat luas baru memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap Gross Domestic Product (GDP).
Dilihat dari berbagai macam problematika di Kepulauan Spermonde yang tertuang dalam pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan, dapat ditentukan akar permasalahan yang perlu dibenahi sebelum merujuk ke ranah nasional dalam meningkatkan pemanfaatan potensi kelautan, yaitu bagaimana memilih metode rehabilitasi dan teknik yang tepat untuk merestorasi terumbu karang. Ibarat membangun sebuah rumah, restorasi, pelesatarian, dan penjagaan terumbu karang bak membangun pondasi sebelum mulai mengembangkan dan menumbuhkan pengelolaan sumber daya kelautan yang lebih optimal kedepannya.
Rehabilitasi dan teknik restorasi, tidak bisa asal dipilih karena setiap terumbu karang menghadapi berbagai jenis kondisi yang berbeda-beda, sehingga, untuk merehabilitasi terumbu karang di Kepulauan Spermonde perlu memerhatikan faktor lingkungan perairan dan kondisi (tingkat kerusakan). Menurut Maddupa et al (2016) dalam pengambilan keputusan pengelolaan terumbu karang terdapat skema yang bisa digunakan untuk penentuan. Kondisi terumbu karang terbagi antara kondisi bagus dan rusak. Pada kondisi rusak, dapat dibedakan lagi menjadi sehat, terpolusi, dan tidak sehat. Sekarang mari menengok kembali ke belakang untuk melihat bagaimana kondisi terumbu karang di Kepulauan Spermonde, serta faktor lingkungan perairannya.
Kondisi lingkungan perairan di Kepulauan Spermonde yang terdampak aktivitas antropogenik adalah kekeruhan. Berdasarkan penelitian Amri(2011) kualitas air di Pulau Barranglompo(padat penduduk) dan Pulau Bonebatang(tidak berpenghuni), kekeruhan air dan padatan tersuspensi di kedua pulau berbeda nyata. Dimana air di Pulau Barranglompo sudah jauh melewati nilai baku yang ditetapkan, penyebabnya yakni sampah rumah tangga, limbah domestik, serta aktivitas MCK(Mandi, Cuci, Kakus). Sedangkan pada Pulau Bonebatang masih di bawah nilai baku yang diperbolehkan untuk wisata dan biota laut. Sementara parameter seperti suhu, salinitas, kecepatan arus, dan tinggi gelombang mendapat pengaruh kecil dari aktivitas antropogenik.
Setelah melihat kondisi tersebut, dapat dilakukan dua macam upaya rehabilitasi terumbu karang di Kepulauan Spermonde. Pertama, pada terumbu karang rusak dengan kualitas perairan rendah yang tercemar, maka tidak perlu dilakukan restorasi, tetapi harus lebih awal dilakukan perbaikan lingkungan perairannya. Apabila restorasi tetap dilakukan, maka akan berpotensi kegagalan, karena larva terumbu karang dan biota laut tidak bisa bertahan dalam kondisi tercemar, sehingga hanya akan menimbulkan kerugian biaya, waktu, dan tenaga. Dalam hal ini, kerjasama antar masyarakat dan pemangku kepentingan daerah perlu ditegaskan dalam hal pengelolaan limbah agar tidak mencemari lautan. Namun sebelum itu, penanaman pemahaman kepada masyarakat menjadi hal pokok mengenai bagaimana perusakan terhadap lingkungan, terutama laut dan terumbu karang, dapat menjadi boomerang bagi diri sendiri jika terus dilakukan.
Kedua, pada terumbu karang rusak yang berada di perairan dengan kualitas yang masih baik dapat dilakukan restorasi. Menurut Maddupa et al (2016) ada banyak teknik restorasi terumbu karang antara lain artificial reef, biorock, transplantasi karang, ecoreef, reefball, dan rockfile. Setelah dilakukan kajian terhadap berbagai kondisi terumbu karang dan faktor lingkungannya, teknik restorasi artificial reef dirasa menjadi cara yang tepat untuk merehabilitasi terumbu karang di Kepulauan Spermonde. Artificial reef atau terumbu karang buatan dibuat dari beton dan batu bata berongga. Artificial reef bertujuan sebagai tempat melekat larva karang, namun di satu sisi juga memiliki peran lain sebagai “rumah sementara” bagi biota laut. Artificial reef cocok ditempatkan pada bekas-bekas terumbu karang yang hancur di Kepulauan Spermonde yang masih memiliki kualitas air baik. Selain itu, pembuatan artificial reef juga dapat dilakukan semua orang tanpa memerlukan tenaga ahli, sehingga dalam pelaksanaannya, masyarakat dapat turut berpartisipasi, dan terbentuk rasa memiliki, agar keberlanjutannya tetap terjaga.
Kepulauan Spermonde memiliki potensi laut yang besar, namun saat ini kerusakan terumbu karang menjadi urgensi yang harus segera diselesaikan. Adanya problematika di Kepulauan Spermonde hanya akan semakin memiskinkan negara dan masyarakat jika tidak ada gerakan untuk meruntuhkan akar permasalahan. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat harus dipupuk dan dibenahi agar langkah awal rehabilitasi terumbu karang dapat segera dituntaskan. Melalui kajian dan berbagai pertimbangan, teknik artifisial reef diharapkan dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan, serta dapat membantu terumbu karang di Kepulauan Spermonde untuk kembali menghiasi lautan.
“Tuhan itu luar biasa adil dan akbar. ikan di laut melimpah tanpa perlu kita beri pakan. Kita hanya perlu membiarkannya dan mengambilnya dengan cara yang bijak tanpa semena-mena. Menjaga, mengelola, dan mengambil ikan dengan bijak adalah tugas kita semua”-Susi Pudjiastuti