Oleh: Gracesiane Jaklyn K.

Pembangunan sejatinya dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kebutuhan masyarakat setempat menjadi hal utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan. Namun apabila proyek pembangunan yang ada justru menindas masyarakat setempat dan membawa dampak buruk lainnya, lantas menjadi wajar untuk mempertanyakan, untuk meningkatkan “taraf hidup” siapa pembangunan tersebut dilakukan?

Esai ini akan membahas tentang perjuangan nirkekerasan yang dilakukan oleh para perempuan di Kendeng untuk menyelamatkan lingkungan dan masyarat lokal dari pembangunan yang justru membawa petaka bagi hidup mereka. Pembangunan yang dimaksud adalah proyek pembangunan yang tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat setempat, namun pembangunan yang berorientasi pada keuntungan (profit) pihak tertentu. Dalam mengkaji keterkaitan antara perempuan dan alam, penulis akan menggunakan teori ekofeminisme yang percaya pada kaitan antara alam dan perempuan sebagai pihak yang tertindas dari sistem kapital patriarkal.

Pemilihan topik ini didasarkan pada keresahan penulis terhadap pandangan publik yang lebih sering memberikan sorot perhatian pada kerusakan lingkungan saja sebagai dampak buruk dari pembangunan. Padahal, apabila dicermati lebih lanjut, ada dimensi gender dalam kasus ini yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Perempuan menjadi salah satu korban opresi pembangunan, dimana taraf hidup mereka tidak ditingkatkan, namun justru dieksploitasi. Selain itu, penulis juga ingin menekankan bahwa tidak selamanya perlawanan harus ditempuh dengan cara-cara kekerasan, namun bisa dengan cara-cara nirkekerasan. Oleh karena itu, penulis ingin membahas mengenai perlawanan nirkekerasan yang dilakukan oleh para perempuan Kendeng dan terbukti lebih efektif daripada perlawanan yang melibatkan kekerasan.

Pembangunan dan Kekerasan terhadap Perempuan

Aktor yang memiliki kepentingan tertentu dalam suatu proyek pembangunan berperan layaknya pahlawan yang siap membantu masyarakat setempat dengan cara melakukan pembangunan.[1] Namun pada realitanya, tujuan utama dari pembangunan tersebut adalah untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi sumber daya setempat dan mengatasnamakannya sebagai proyek pembangunan. Penolakan masyarakat setempat pada proyek pembangunan bukan berarti mereka menolak untuk ditingkatkan taraf hidupnya, melainkan untuk melindungi alam mereka. Mereka merasa bahwa hidup berdampingan dan bergantung pada alam saja, tanpa adanya pembangunan, tetap dapat menjamin kehidupan mereka dengan baik.

Dampak buruk dari pembangunan yang hanya berorientasi pada keuntungan tidak berhenti pada kerusakan lingkungan saja, namun juga peningkatan risiko kekerasan terhadap perempuan. IUCN mencatat bahwa industri ekstrasi dan agribisnis berskala besar dapat berakibat pada peningkatan ketidaksetaraan dan kekerasan berbasis gender.[2] Perempuan menjadi pihak yang paling rentan dan terdampak dalam kasus ini. Hal ini disebabkan karena aktivitas perempuan di masyarakat lokal berkaitan erat dengan alam, seperti mencari air, bahan makanan, dan bahan bakar memasak. Pembangunan yang merusak lingkungan akan sangat menyulitkan perempuan dalam mengakses kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Hilangnya akses perempuan untuk memenuhi kebutuhan rumahnya yang diperoleh dari alam berujung pada ketergantungan mereka pada suami atau figur laki-laki lain untuk memenuhi kebutuhan. Ketergantungan inilah yang kemudian dapat meningkatkan risiko kekerasan gender terhadap perempuan. Di dunia yang patriarki, situasi tersebut menempatkan perempuan di posisi yang tidak berdaya dan dianggap sebagai pihak yang harus memerlukan laki-laki untuk sekadar bertahan hidup. Dampaknya, perempuan menjadi lebih rentan terhadap kekerasan karena laki-laki merasa dirinya memiliki kekuasaan yang lebih dan berhak melakukan apa saja terhadap perempuan yang dianggapnya lebih rendah dan lemah.

Perlawanan Nirkekerasan Srikandi Kendeng dan Pandangan Ekofeminisme

Pada Januari 2017, para perempuan Kendeng melakukan unjuk rasa di depan kantor Gubernur Jawa Tengah dan mengatakan bahwa mereka tidak akan berhenti berjuang sampai pabrik semen berhenti beroperasi sepenuhnya. Empat bulan setelahnya, sebanyak sembilan petani melakukan aksi semen kaki dalam kotak kayu di depan Istana Merdeka. Sembilan petani tersebut merupakan para perempuan dari Blora, Rembang, Pati, Kudus, dan sekitarnya yang menolak adanya proyek tambang dan pembangunan pabrik semen yang dapat merusak alam Pegunungan Kendeng. Namun jauh sebelum itu, perjuangan mereka dan masyarakat setempat untuk menolak pembangunan tambang dan pabrik semen sebenarnya sudah dimulai.

Pegunungan Kendeng merupakan pegunungan karst yang membentang dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah hinggah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Pegunungan ini menyimpan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih yang sejak lama menghidupi para petani di daerah Rembang, Blora, Pati, hingga Grobogan.[3] Konflik muncul saat PT Semen Gresik mendapat izin dari Pemda Kabupaten Pati untuk mendirikan kawasan industri dan penambangan di tahun 2006. Warga yang tidak setuju akan aktivitas pertambangan ini akhirnya membawa kasus ini ke pengadilan dan dinyatakan menang pada tahun 2009. Setelah itu, Rembang menjadi daerah sasaran selanjutnya untuk membangunan kawasan pertambangan dan pabrik. Warga setempat juga melakukan penolakan dan berhasil memenangkan kasus yang diumumkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2016.[4]

Pertambangan dan pembangunan pabrik semen memiliki dampak kerusakan lingkungan di Kendeng yang sangat besar. Daerah Rembang terancam kehilangan 109 mata air, rusaknya 49 goa dan 4 sungai bawah tanah, dan 58.368 hektar lahan terancam kekurangan air akibat pertambangan. Sedangkan di Pati, aktivitas pertambangan akan berdampak pada hilangnya 110 mata air, 9 ponor, dan 30 goa.[5] Watu Putih sendiri juga merupakan sumber air yang digunakan untuk membantu menunjang kebutuhan air oleh PDAM Blora dan Rembang. Selain itu, kaki Pegunungan Kendeng juga menjadi tempat tinggal bagi orang Samin, yaitu mereka yang menggantungkan seluruh kehidupan mereka pada alam dan memilih untuk menjauhi modernisasi. Sehingga perusakan alam sama saja dengan merenggut tempat tinggal orang Samin dan mempersulit kehidupan mereka yang menjadikan alam sebagai pusat utama kehidupan mereka.

Para perempuan Kendeng memiliki peran penting dalam penghidupan keluarganya, seperti mencari air, memasak, mencuci, bercocok tanam, dan berternak. Aktivitas tersebut sangat berkaitan dengan alam Pegunungan Kendeng, apalagi yang berhubungan dengan kebutuhan air, mengingat pegunungan ini memiliki sumber mata air yang melimpah. Teori ekofeminisme melihat adanya keterkaitan antara perusakan lingkungan dengan kekerasan patriarkal terhadap perempuan dan alam. Ekofeminisme menerjemahkan eksploitasi alam sebagai eksploitasi terhadap tubuh perempuan.[6] Hal tersebut karena alam dan perempuan sama-sama memiliki fungsi produksi dan reproduksi. Layaknya alam, aktivitas perempuan tidak hanya terbatas pada aktivitas konsumsi saja, namun juga memastikan bahwa segala sesuatu dapat tumbuh.[7] Dalam sistem kapital patriarkal, alam dan perempuan dianggap sebagai obyek pasif dan tidak produktif sehingga diperlukan pembangunan untuk dapat meningkatkan nilai produktivitas secara kapital. Dengan begitu, sistem ini menganggap alam dan perempuan sebagai obyek yang dapat digunakan dan layak untuk dieksploitasi.[8]

Ekofeminisme melihat pembangunan dalam kasus ini sebagai salah satu bentuk dari maskulinitas yang mengopresi perempuan dan alam. Hal ini dibuktikan dengan adanya kapitalisasi dan eksploitasi tubuh perempuan dan alam yang terjadi secara bersamaan sebagai upaya untuk melanggengkan dominasi kekuasaan melalui pembangunan.[9] Hak dan kesejahteraan perempuan merupakan hal yang tidak penting karena tujuan mereka hanyalah untuk melakukan akumulasi modal dan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kasus Kendeng menjadi salah satu contoh proyek maskulin yang mengatasnamakan “pembangunan” dan berujung pada kekerasan terhadap alam dan perempuan.[10]

Sebagai pihak yang paling terdampak dari adanya pembangunan, sudah sewajarnya perempuan menjadi pihak terdepan dalam melakukan perlawanan. Dalam kasus ini, para perempuan Kendeng menjadi ujung tombak perlawanan dengan melakukan berbagai macam protes nirkekerasan yang ditujukan untuk perusahaan semen dan pemerintah. Bagi mereka, Pegunungan Kendeng adalah ibu yang sudah menjaga dan menghidupi mereka, dan mereka sebagai anak-anaknya memiliki kewajiban untuk melindunginya dari serangan penghancuran tambang.[11] Hal ini sejalan dengan pandangan Ekofeminisme Kultural yang percaya bahwa perempuan memiliki hubungan yang lebih intim dengan alam dan oleh karena itu asosiasi perempuan dengan alam harus terus didorong.[12]

Mengapa Nirkekerasan?

Dalam upaya perlawanannya, para perempuan Kendeng memilih untuk menggunakan cara-cara nirkekerasan. Mereka melakukan aksi unjuk rasa secara damai, melakukan aksi semen kaki dalam kotak kayu sambil melantunkan nyanyian, hingga melakukan pertunjukan teatrikal. Dalam studi nirkekerasan, terdapat dua tradisi nirkekerasan, yaitu idealis dan pragmatis. Nirkekerasan idealis percaya bahwa aksi nirkekerasan dilakukan karena alasan etis dan kepercayaan atas kesatuan, serta memiliki tujuan untuk menjadikan lawan sebagai kawan untuk dapat mencapai kepentingan bersama. Sedangkan nirkekerasan pragmatis meluhat bahwa aksi nirkekerasan dilakukan karena itu merupakan cara paling efektif yang tersedia dan bertujuan untuk mengalahkan lawan dan memenangkan konflik.[13] Dari sini dapat dilihat bahwa perlawanan yang dilakukan oleh para perempuan Kendeng adalah perlawanan kekerasan pragmatis, yang mana tujuan utamanya adalah untuk mendorong keluar perusahaan tambang dan pabrik semen keluar dari wilayah mereka.

Selain melindungi alam, perlawanan ini juga bertujuan untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat Kendeng. Proyek pertambangan dan pembangunan pabrik tidak hanya merusak lingkungan, namun juga berdampak buruk bagi kesehatatan masyarakat. Gas yang dihasilkan dari hasil pembakaran batu bara dengan suhu yang tinggi mengandung bahan-bahan beracun yang apabila terhirup dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Keselamatan dan kehidupan masyarakat Kendeng menjadi salah satu hal utama yang diperjuangkan dan oleh karena itu perlawanan nirkekerasan merupakan hal yang paling efektif untuk dilakukan. Penggunaan perlawanan yang sarat akan kekerasan tidak menjadi pilihan karena hal tersebut hanya akan mengancam keselamatan dan kehidupan mereka lebih lagi. Dapat dibayangkan apabila sampai terjadi perlawanan dengan aksi kekerasan, korban akan berjatuhan dan dengan begitu keselamatan serta kehidupan masyarakat yang diperjuangkan justru tidak dapat terjamin.

Kesimpulan

Proyek maskulinitas yang mengatasnamakan “pembangunan” menjadikan alam dan perempuan sebagai pihak yang paling terdampak. Menurut ekofeminisme, eksploitasi alam sama dengan eksploitasi perempuan, dan oleh karena itu perlawanan terhadap pembangunan yang justru merugikan alam dan masyarakat setempat—khususnya perempuan—perlu dilakukan. Ekofeminisme percaya bahwa perempuan sebagai pihak yang paling terdampak dan memiliki hubungan yang lebih intim dengan alam dapat menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan. Dan dalam kasus ini, perlawanan yang dilakukan merupakan perlawanan nirkekerasan pragmatis sebagai hal yang paling efektif yang dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendorong perusahaan keluar dari wilayah mereka serta menghentikan operasi pertambangan secara menyeluruh dan menerus.


  • [1] Andrea Cornwall, Elizabeth Harrison, and Ann Whitehead, Feminism in Development: Contradictions, Contestations, and Challenges (London, United Kingdom: Zed Books Ltd, 2007)).
  • [2] IItzá Castañeda Camey et al., “Gender-Based Violence and Environment Linkages: The Violence of Inequality” (Gland, Switzerland: IUCN, 2020), pp. 1-246).
  • [3] “Mengenal Pegunungan Karst Dari Petani Kendeng” (Kumparan, 8 Mei 2017), https://kumparan.com/kumparannews/mengenal-pegunungan-karst-dari-petani-kendeng).
  • [4] Siti Maimunah, “Kendeng, Perempuan & Pembangunan Yang Memiskinkan” (INDOPROGRESS, 23 Mei 2017), https://indoprogress.com/2017/05/kendeng-perempuan-pembangunan-yang-memiskinkan/).
  • [5] ibid
  • [6] “What Is Ecofeminism?,” Women and Life on Earth, diakses pada 20 Maret 2020, http://www.wloe.org/what-is-ecofeminism.76.0.html).
  • [7] Annisa Innnal Fitri and Idil Akbar, “Gerakan Sosial Perempuan Ekofeminisme Di Pegunungan Kendeng Provinsi Jawa Tengah Melawan Pembangunan Tambang Semen,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 3, no. 1 (April 2017): pp. 83-102).
  • [8] Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (New Delhi, India: KALI FOR WOMEN, 1988)).
  • [9] “Politik Rahim Perempuan Kendeng Menolak Tambang Semen” (Jurnal Perempuan, 23 September 2014), https://www.jurnalperempuan.org/blog/dewi-candraningrum-politik-rahim-perempuan-kendeng-menolak-tambang-semen).
  • [10] Annisa Innnal Fitri and Idil Akbar, “Gerakan Sosial Perempuan Ekofeminisme Di Pegunungan Kendeng Provinsi Jawa Tengah Melawan Pembangunan Tambang Semen,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 3, no. 1 (April 2017): pp. 83-102).
  • [11] Annisa Innnal Fitri and Idil Akbar, “Gerakan Sosial Perempuan Ekofeminisme Di Pegunungan Kendeng Provinsi Jawa Tengah Melawan Pembangunan Tambang Semen,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 3, no. 1 (April 2017): pp. 83-102).
  • [12] Kathryn Miles, “Ecofeminism,” Britannica, diakses pada 20 Maret 2020, https://www.britannica.com/topic/ecofeminism/Ecofeminisms-future).
  • [13] Diah Kusumaningrum, “The Use of Nonviolence in Differen Power-Relations Settings”, 2016.