(Sebuah Fakta Paradoks Pembangunan di Pulau Flores)
Oleh: Ignasius Apriles Fernandez
Pengantar
Wacana seputar lingkungan hidup dewasa ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan harian manusia. Wacana ini semakin menggema di berbagai media massa, baik media cetak maupun media elektronik, kala berhadapan dengan pelbagai persoalan negatif-destruktif di dalamnya. Pelbagai persoalan negatif-destruktif itu mewujud dalam fakta kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif dan berskala gigantis. Ironisnya, pelbagai persoalan negatif-destruktif tersebut umumnya muncul akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Dengan kata lain, manusia merupakan pelaku atau subjek utama yang memicu hebatnya kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Pernyataan ini serentak melahirkan sebuah pertanyaan baru, siapakah oknum-oknum yang merusak lingkungan hidup? Atau, dari kalangan masyarakat manakah oknum-oknum perusak lingkungan hidup tersebut?
Pada umumnya, ada dua kelompok utama yang berperan sebagai tokoh sentral terkait dengan fakta kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Kedua kelompok tersebut ialah para pemerintah dan pemilik modal (kaum kapitalis) atau investor. Kedua kelompok tersebut merupakan subjek atau pelaku utama yang memicu terjadinya kerusakan alam-lingkungan hidup yang masif terjadi. Keduanya sama-sama memiliki wewenang dan kuasa untuk mewujudkan hasrat dan ketamakannya akan materi. Relasi yang dibangun antara kedua kelompok tersebut pun tergolong dalam relasi simbiosis mutualisme (relasi yang menguntungkan kedua belah pihak). Dengan kata lain, keduanya membangun sebuah konspirasi politis.
Sesungguhnya, ada banyak bukti atau fakta terkait dengan konspirasi yang dibangun antara kedua kelompok tersebut yang berimbas pada kerusakan lingkungan hidup. Salah satu fakta yang marak terjadi adalah adanya aktivitas pertambangan yang tentunya berpotensi merusak lingkungan hidup secara masif. Fakta inilah yang menjadi konsentrasi tulisan ini. Penulis merasa terpanggil untuk membedah persoalan ini, sambil menawarkan pelbagai opsi solutif sebagai alternatif pembangunan. Ketertarikan penulis untuk membedah persoalan ini dilatarbelakangi oleh maraknya fakta aktivitas pertambangan yang secara khusus terjadi di Pulau Flores, yang juga merupakan tempat penulis berasal. Selain dilatarbelakangi oleh maraknya aktivitas pertambangan di Pulau Flores, ketertarikan penulis juga muncul lantaran tambang hadir sebagai sektor pembangunan daerah. Persoalan ini dinilai mendesak, lantaran luas pulau Flores yang kecil dan mayoritas penduduknya bekerja di bidang pertanian dan perkebunan, yang tentunya secara langsung merusak lahan rakyat.
Persoalan ekologi ini memiliki efek luas dan mendalam pada masyarakat manusia. Efek tersebut berciri paradoksal. Artinya, di satu pihak terjadi akumulasi kekayaan pada manusia, yang berarti peningkatan kemakmuran ekonomi berkat kemampuan mengolah alam, tetapi di lain pihak, pengolahan alam secara eksploitatif telah menyebabkan pemiskinan, pelanggaran HAM, kekerasan, dan kerusakan alam secara luar biasa dan tak terpulihkan. Persis kondisi seperti inilah yang dialami oleh masyarakat di Pulau Flores. Maksud terselubung untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dibungkus dengan rapi dalam alasan dan tujuan yang mulia, yakni demi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan daerah. Kehadiran perusahaan industri pertambangan diyakini mampu untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sayangnya, kemakmuran dan kesejahteraan yang dicita-citakan itu hanya dialami oleh segelintir orang saja. Masyarakat yang merupakan pemilik lahan tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun. Petani yang merupakan mayoritas pekerja di negeri ini, khususnya di Pulau Flores, telah kehilangan sumber-sumber ekonominya karena pencaplokan lahan pertanian mereka untuk kepentingan korporasi. Rakyat diturunkan dari “takhtanya” sebagai agen perubahan dan pelaku pembangunan serta “dimelaratkan” karena hak sosial, dan ekonominya dicabut. Inilah yang disebut paradoks pembangunan, yakni pembangunan dengan cara menelantarkan rakyatnya.
Selain disebabkan oleh nasib rakyat yang menderita kehilangan lahan akibat aktivitas pertambangan, keprihatinan penulis muncul terutama karena lingkungan hidup dieksploitasi atas nama pembangunan. Kenyataan ironi ini tentunya berbanding terbalik dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup, berkaitan dengan pembangunan berbasis ekologis sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan. Dalam UU tersebut, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Hal ini dianggap penting, karena kerusakan lingkungan hidup adalah tahap awal kepunahan spesies yang disebut manusia, sebab manusia tidak dapat ada dan tidak dapat hidup tanpa lingkungan hidup yang utuh dan sehat.
Panorama Aktivitas Pertambangan di Flores
Pulau Flores atau dikenal juga dengan nama Nusa Bunga ini ternyata mengandung banyak bahan mineral di dalam rahimnya seperti emas, mangan, batubara, marmer, tembaga atau biji besi. Rupa-rupanya fakta ini mengundang dan menarik banyak investor asing, perusahaan-perusahaan swasta nasional, dan perusahaan swasta transnasional (selanjutnya PETRANS). Serbuan PETRANS terhadap realitas kekayaan alam tersebut ternyata disambut dengan baik oleh pemerintah-pemerindah daerah yang ada di Pulau Flores. Hal ini terealisasi dengan terpilihnya beberapa daerah di Pulau Flores yang menjadi target (lebih tepatnya korban) industri pertambangan dalam mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, seperti di Desa Nggilat (Kabupaten Manggarai Barat), Desa Wontong-Ruis (Kabupaten Manggarai), Desa Ondorea (Kabupaten Ende), Desa Tebedo (Kabupaten Manggarai Barat), Desa Robek dan di Torong besi (Kabupaten Manggarai), dan daerah-daerah lainnya.
Penerbitan lisensi atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dibuat oleh pemerintah daerah tidak berdasarkan pertimbangan yang matang dan kritis, sambil memperhatikan nasib rakyat. Asumsi penulis ini dibangun berdasarkan realitas miris yang telah dan tengah dialami oleh rakyat yang berdomisili di sekitar area pertambangan. Aktivitas pertambangan yang dilakukan di lahan pertanian dan perkebunan rakyat, yang merupakan sumber mata pencaharian mayoritas penduduk Flores, telah rusak bahkan hancur. Selain itu, sungai dan sumber air telah tercemar. Banyak mata air yang sebelumnya merupakan sumber air minum bagi penduduk setempat kini telah mengering setelah hutan di hulu sungai dilucuti oleh industri pertambangan terbuka berskala besar. Buruknya lagi, pekerjaan mayoritas penduduk di Pulau Flores yang adalah petani mesti berganti profesi menjadi buruh tambang. Tidak hanya itu. Penduduk yang berdomisili di sekitar area pertambangan juga mengalami pelbagai penyakit yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan tersebut; bukannya membawa berkah, aktivitas pertambangan ini malah membawa kutukan.
Tak dapat dimungkiri lagi, penerbitan lisensi atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dibuat oleh pemerintah daerah disinyalir sebagai buah konspirasi politis yang memberi keuntungan bagi kedua belah pihak. Penerbitan lisensi atau Izin Usaha Pertambangan diperkuat oleh adanya UU No.32/2004 dan UU No. 12/2008, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah yang ada di Indonesia mempunyai otonomi yang luas untuk mengatur penyelenggaraan pembangunan di setiap daerahnya di Indonesia. Melalui Undang-Undang Otonomi ini, setiap pemerintah daerah di Indonesia mempunyai wewenang menerbitkan IUP. Kenyataan ini berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penerbitan IUP oleh pemerintah daerah. Simon Suban Tukan, Koordinator Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Gereja Katolik, dari Misionaris Serikat Sabda Allah (SVD), berhasil memperoleh data dari sebuah penelitian, yakni pada tahun 2009 ada 50 IUP yang diterbitkan oleh tiga kabupaten di Flores bagian barat.
Komisi JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation) juga telah melakukan investigasi terhadap pelbagai aktivitas pertambangan yang ada di Pulau Flores. Hasil investigasi tersebut menyajikan banyaknya data sehubungan dengan IUP dan prosedur pelaksanaan pertambangan. Data-data tersebut memberikan kesimpulan bahwa aktivitas pertambangan yang ada pada umumnya tidak mengikuti bahkan memanipulasi prosedur yang ada serta menimbulkan kerugian yang sangat besar, melebihi pemasukan yang diperoleh dari aktivitas pertambangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta bahwa perusahaan-perusahaan tambang tersebut tidak bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi lahan ketika aktivitas pertambangan telah selesai.
Seluk-beluk industri pertambangan, khususnya dampak negatifnya yang luar biasa masif, umumnya tidak disosialisasikan kepada masyarakat setempat yang terkena industri pertambangan maupun masyarakat Flores secara keseluruhan. Pernyataan ini ditegaskan dalam fakta bahwa pemerintah, yang dalam hal ini dinas pemerintah setempat bahkan cenderung berdiri di pihak perusahaan. Kenyataan yang ada justru sebaliknya, yakni hal yang dikomunikasikan kepada orang desa di Pulau Flores itu umumnya hal-hal yang manis saja, seperti janji pembangunan jalan setapak untuk membuka isolasi perkampungan mereka, janji pembangunan sekolah gratis dan beasiswa, janji pembangunan rumah adat dan rumah ibadat (gereja), dan lain-lain.
Selain beberapa fakta di atas, ada satu fakta tambahan tentang tindakan pemerintah yang tidak mematuhi hukum dan prosedur yang berlaku sehubungan dengan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP). Faktanya adalah bahwa izinan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan pertambangan oleh pemerintah daerah di Indonesia diautorisasi tanpa sebuah studi Analsis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (AMDAL) yang memadai atau bahkan tanpa AMDAL sama sekali. Banyak perusahaan hanya menyiapkan Rencana Kegiatan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang masih jauh dari memadai. Sering kali hal ini dilakukan untuk menghindari proses AMDAL yang benar menurut hukum. Bahkan jika mereka melakukan studi AMDAL, sampel tidak diambil dari lokasi yang menjadi wilayah operasi tambang tetapi diambil dari tempat yang lain sama sekalli. Atau pada kasus lain, perusahaan hanya membuat AMDAL yang dikarang-karang saja. Fakta miris ini tentunya merupakan sebuah pelanggaran terhadap prosedur yang telah disahkan dalam Undang-Undang. Dalam UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pasal 22 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Penegasan yuridis lainnya terkait dengan AMDAL ini ditegaskan juga dalam pasal 26 ayat (1) sampai (3) bahwa dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat, yang dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan; masyarakat sebagaimana dimaksud meliputi, yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Pembangunan Berbasis Ekologis: Sebuah Keharusan
Sampai saat ini, sebagian besar masyarakat di Pulau Flores berprofesi sebagai petani. Di Manggarai Raya misalnya, penduduk yang berprofesi sebagai petani mencapai 80%. Kehidupannya sebagai petani tidak terlepas dari budaya yang diwarisi nenek moyang secara turun-temurun. Tidak mengherankan apabila di mana-mana ditemukan area persawahan dan perkebunan yang luas di pulau ini. Dan sesungguhnya, justru kehidupan seperti inilah yang telah membuat masyarakat Pulau Flores dapat mempertahankan dan menyejahterakan hidupnya. Kekhasan yang dimiliki ini nyatanya memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi rakyat. Di tiga kabupaten di Flores bagian barat – Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur – misalnya, sektor pertanian sendiri menyumbang 50% dari ekonomi wilayah ini.
Bertolak dari kenyataan di atas, para pemerintah mesti menjadikan sektor pertanian atau perkebunan sebagai sektor unggulan dalam upaya pembangunan di masing-masing daerahnya. Konsep ini dibangun atas pertimbangan rasional, bahwa melalui pemanfaatan dan pengupayaan potensi-potensi alam serta profesi mayoritas tersebut (yakni petani), niscaya masyarakat Pulau Flores akan terarah pada kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka, masyarakat menjadi subjek atau pelaku pembangunan bagi daerahnya. Hal ini tentunya akan terwujud dan terlaksana dengan baik, apabila pemerintah secara aktif terlibat dalam memperlancar, memfasilitasi, dan mendukung usaha pertanian atau perkebunan tersebut. Salah satu wujud dukungan pemerintah adalah dengan memprioritaskan anggaran daerah demi keberlangsungan pembangunan di sektor pertanian, yang akan dirasakan oleh masyarakat.
Langkah pembangunan utama dalam sektor pertanian dan perkebunan akan mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan bagi masyarakat yang berada di Pulau Flores. Selain dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup rakyat, penataan dan pengolahan lahan pertanian yang tepat berpotensi menjadi sentra-sentra agrowisata yang tentunya memberi pendapatan dan keuntungan yang lebih. Agrowisata dapat menjadi sumber pendapatan tambahan dari pemanfaatan dan pengembangan sektor pertanian. Contoh-contoh yang sudah ada, seperti sawah-sawah lodok di Manggarai yang terkenal dengan model jaring laba-labanya, sentra perkebunan kopi yang ada di daerah Colol-Manggarai yang juga dapat dijadikan objek wisata dan lain-lain, dapat dijadikan sebagai motivasi untuk semakin meningkatkan kualitas pertanian dan perkebunan yang ada. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya pemerintah melaksanakan pembangunan dengan prioritas-prioritas yang sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki daerah ini
Penutup
Krisis dan bencana lingkungan hidup global adalah ancaman kehidupan. Kita bisa sepakat bahwa krisis dan bencana lingkungan hidup bukan lagi persoalan hari esok. Bukan masalah yang nanti saja akan kita selesaikan pada urutan prioritas kesekian dari segala persoalan hidup pribadi dan berbangsa-bernegara. Krisis ini adalah persoalan mendesak hari ini dan karena itu menuntut kita semua, khususnya pemerintah, untuk bertindak nyata, sekarang juga hari ini; sebab telah menyangkut ancaman kehidupan secara serius dan nyata, dan tidak bisa ditunda-tunda. Ia harus mendapat prioritas nomor urut satu, sama pentingnya dengan persoalan pemenuhan kebutuhan pokok makan dan minum.
Berkaitan dengan hal tersebut, kehadiran industri pertambangan di Pulau Flores merupakan bentuk penyimpangan dan sama sekali tidak dikehendaki. Kehadiran industri pertambangan tidak mendukung program pembangunan berkelanjutan. Selain berakibat pada kerusakan lingkungan hidup secara masif, aktivitas pertambangan tidak membawa berkah sedikit pun bagi rakyat, khususnya yang berada di sekitar area pertambangan. Masyarakat malah ditelantarkan dan dicaplok lahannya demi aktivitas pertambangan. Oleh karena itu, pemerintah mesti mencari sektor pembangunan lain yang berpotensi untuk meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat, dan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sektor pembangunan yang dipilih tentunya berbasis ekologis sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.