Ecology concept with green city on earth, World environment and sustainable development concept, vector illustration

Oleh : Jodii Arlan Kurnia

Organisasi Kesehatan Dunia / World Health Organization (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020 menyatakan bahwa virus corona baru (COVID-19) sebagai sebuah pandemi/ wabah global. Pada jumpa pers, Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan hal ini setelah mencatat bahwa selama 2 minggu terakhir, jumlah kasus di luar China meningkat 13 kali lipat dan jumlah negara dengan kasus COVID19 ini meningkat tiga kali lipat. Dia mengatakan bahwa “WHO sangat prihatin dengan tingkat penyebaran dan keparahan dari virus ini”. kemudian dia juga meminta agar negara-negara di dunia mengambil tindakan strategis secepatnya untuk mengendalikan virus ini. (Cucinotta D dan Vanelli M, 2020)

Tercatat saat ini, pada tanggal 1 Mei 2020. Jumlah pasien terkonfirmasi menderita COVID19 adalah 3.307660. dengan 234.074 meninggal dunia. Penyakit ini sendiri telah menyerang 213 negara dengan berbagai tingkat kematian bervariasi. Melihat hal ini sejumlah negara melakukan upaya lockdown. Sebuah strategi isolasi berskala nasional yang bertujuan untuk mengurangi kontak. Sehingga diharapkan persebarannya dapat dikurangi. Bagi dunia kemanusiaan sendiri, bencana ini bukan hanya berdampak terhadap sektor kesehatan saja, melainkan juga bagi sektor ekonomi, perdagangan, pariwisata dan pendidikan mengalami dampak negatif yang besar. Namun disisi lingkungan, beberapa peneliti menganggap bahwa akibat wabah ini dampak yang ditimbulkan cenderung positif. Disatu sisi, beberapa peneliti lingkungan justru berpendapat sebaliknya.

            Badan Meteorologi dunia / World Meteorological Organization (WMO) pada akhir 2019 lalu, menyatakan bahwa bumi telah berada dalam kondisi terpanasnya dalam sejarah. Pernyataan ini dirangkum selama 5 tahun terhitung sejak 2015. Tercatat Suhu global rata-rata untuk 2015–2019 menjadi tahun dengan suhu terpanas dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Tercatat saat ini diperkirakan suhu mencapai 1,1 ° Celcius lebih panas dibanding saat masa pra-industri (1850–1900). Dimana artinya bumi semakin panas tiap tahunnya sejak masa pra industi hingga sekarang. Hal ini berdampak pada gelombang panas yang tersebar luas dan berlangsung lama. Kebakaran juga memecahkan rekor sebagai kebakaran terlama, dan peristiwa-peristiwa dahsyat lainnya seperti topan tropis, banjir, dan kekeringan terjadi di berbagai belahan dunia dengan kuantitas dan kualitas yang lebih mengerikan. (WMO,2019)

            Hal ini diperkirakan akibat tingginya gas-gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama adanya pemanasan global atau global warming. Tercatat bahwa sebelum tahun 2017, bumi mengalami suhu terpanasnya sekitar 3-5 juta tahun yang lalu. Saat itu, kandungan konsentrasi CO2 (gas rumah kaca dominan)di atmosfer mencapai 400 bagian perjuta (ppm). Namun pada tahun 2017, tercatat bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer adalah 405,6 ppm. Sehingga di tahun 2017 menjadi tahun untuk pertama kalinya bumi mengalami masa terpanasnya. Hingga akhirnya pada tahun-tahun berikutnya peningkatan konsentrasi CO2 ini meningkat dan suhu bumi juga mengalami peningkatan. Hal ini berimplikasi juga terhadap kenaikan permukaan laut akibat mencairnya es di kutub, baik kutub Utara maupun Kutub Selatan. Sehingga memicu berbagai bencana alam di dunia. (WMO,2019)

            Namun sejak adanya wabah COVID19 ini. tercatat bahwa jumlah gas rumah kaca mengalami penurunan yang siknifikan. Dari 3 Februari hingga 1 Maret 2020, emisi CO2 turun setidaknya 25%. Hal ini tentu disebabkan adanya penurunan jumlah aktifitas manusia, baik berupa aktifitas industri, transportasi, dan berbagai aktifitas lainnya terkait dengan kebijakan lockdown atau social distancing yang dilakukan beberapa negara dalam menangani wabah ini. hal ini disampaikan oleh the Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), sebuah organisasi penelitian polusi udara. Sebagai pencemar terbesar di dunia yaitu Cina yang menyumbang 28% dari emisi CO2 dunia setiap tahunnya, sehingga ketika Cina menerapkan kebijakan lockdown, dampak penurunan emisi CO2 ini menurun drastis. (Wright R, 2020) (UCS,2020)

            Namun beberapa peneliti berpendapat bahwa kejadian ini hanya akan bersifat sementara. Seperti yang terjadi saat ini, akibat wabah ini publik yang sebelumnya telah dipaparkan dengan berbagai isu terkait perubahan iklim dan pemanasan global kini bergeser pada pembahasan terkait wabah ini. sehingga fokus publik juga bergeser dan urgensitas telah mengalihkan perhatian publik terkait isu lingkungan ini. kemudian dari sisi ekonomi peneliti juga berpendapat bahwa penurunan emisi CO2 hanya akan berlangsung singkat. Hal ini karena dengan adanya wabah yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi dari berbagai sektor seperti industri dan perdagangan. Maka akan ada upaya recovery untuk memulihkannya. Sehingga berbagai usaha difokuskan pada sektor ekonomi. Sehingga sektor lingkunganpun akan lebih terpinggirkan. Terlebih lagi jika ketertinggalan ekonomi ini mendorong kebijakan industrialisasi besar-besaran yang mengakibatkan adanya polusi yang tentu juga akan malah semakin besar. Seperti halnya kejadian paska perang dunia ke-2. Serta krisis ekonomi tahun 2009. Dimana saat itu terjadi industrialisasi besar-besaran dilakukan untuk mengejar ketertinggalan ekonomi. peneliti berpendapat kejadian tersebut akan terulang dan justru merusak lingkungan lebih besar lagi (Fournier C, 2020)

            Melihat dari kedua sisi perbedaan pendapat para peneliti terkait manfaat atau kerugian dari wabah COVID19 ini. Terutama yang berhubungan dengan lingkungan yaitu perubahan iklim dan pemanasan global. Maka perbedaan pendapat ini bagaimanapun juga harus diarahkan pada paradigma bagaimana seharusnya dunia merespon COVID19 ini sebagai sebuah momentum perubahan bersama dalam berlaku bijak terhadap lingkungan.

            Kita tentu menolak mengatakan bahwa terjadinya wabah COVID19 yang awalnya terjadi di Wuhan China, berkaitan dengan adanya fakta bahwa China adalah negara dengan polusi CO2 terbesar di dunia (28% total emisi karbon dunia). Kita juga tentu menolak jika tingginya wabah COVID19 di Amerika yang saat ini menjadi pusat pandemi dengan jumlah kematian tertinggi (63.861) berkaitan dengan keluarnya Amerika dari Paris Agreement (kesepakatan pemimpin dunia untuk mengurangi emisi karbon), serta kenyataan bahwa Amerika adalah negara kedua terbesar penyumbang emisi karbon sebesar 14%. (UCS,2020) Hal ini memang secara alur berpikir tidak dapat ditemukan kaitannya. Namun lebih dari itu, tidak ada salahnya juga jika kita dapat menjadikan COVID19 ini sebagai refleksi diri. Bahwasanya bumi juga ingin dihargai, dicintai dan dilindungi oleh manusia. Seperti halnya manusia yang tetap ingin dihargai, dicintai dan dilindungi oleh bumi atau alam itu sendiri sebagai rumah dan tempat kita berpijak. Selain itu, kejadian ini juga bisa dijadikan momentum bahwasanya dunia lebih indah kala kita lebih peduli pada lingkungan dengan membatasi kegiatan-kegiatan yang tidak perlu atau bahkan kegiatan yang merusak alam. Paradigma seperti inilah yang seharusnya dapat terbangun. Walau terkesan abstrak namun pendekatan seperti ini juga dapat dikatakan perlu selain pendekatan paradigma konvensional terhadap paparan fakta dan data.

            Selanjutnya melalui momentum ini, harus dipahami bersama terutama bagi pemimpin-pemimpin dunia. Bahwasanya manusia begitu rentan, dengan berbagai kebijakan yang saling berdiri sendiri terutama di sektor ekonomi, kesehatan, dan lingkungan yang seakan memiliki kasta diantaranya. Dimana seringkali ekonomi selalu diutamakan sedangkan kesehatan dan lingkungan seringkali diabaikan. Sehingga perlu adanya kebijakan yang melalui momentum ini diharapkan ketiga sektor tersebut dapat berjalan beriringan dan setara. Kita tahu bahwa peningkatan suhu dunia meningkat sejak era industrialisasi, dimana energi yang tidak dapat diperbaharui dihasilkan melalui pembakaran bahan bakar fosil yang akhirnya meningkatkan emisi karbon dan menimbulkan pemanasan global hingga perubahanan iklim. Maka dari itu pembangunan berkelanjutan yang berbasis energi terbarukan dan pembangunan rendah karbon harus menjadi prioritas untuk kedepannya. Industrialisasi yang nantinya juga akan mendorong perekonomian namun tetap mengedepankan aspek pembangunan keberlanjutan seperti ini tentu dapat menjadi solusi terutama terkait momentuk paska wabah COVID19 ini.

Sehingga, nantinya diharapkan tercipta suatu kebijakan global yang lebih berkelanjutan dan lebih kuat dalam menghadapi berbagai bencana global seperti wabah COVID19, pemanasan global dan perubahan iklim di masa depan. Kita tentu tahu, bahwa sektor ekonomi tertinggal paska wabah COVID19. Namun melalui momentum ini juga harus kita pahami bahwa sekuat apapun ekonomi suatu negara, ketika terserang suatu bencana maka ekonomi akan terganggu bahkan hancur. Seperti halnya bencana wabah ini. sebagai negara dengan ekonomi paling superior sekalipun seperti China dan Amerika, nyatanya juga porak poranda akibat wabah ini. Sehingga memprioritaskan hanya pada ekonomi merupakan kebijakan yang tidak berkelanjutan dan tidak relevan lagi di masa ini. Momentum inilah yang selanjutnya menjadi paradigma kita bagaimana memandang lingkungan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Hingga akhirnya perubahan paradigma ini membuat arah pembangunan kita lebih menghargai asas keberlanjutan dan bumi menjadi tempat kita berpijak untuk generasi kita dan generasi-generasi selanjutnya.

“We do not inherit the earth from our ancestors, we borrow it from our children.”