TOROBULU, WALHI SULSEL– Hamparan keindahan dan ragam potensi sumber daya alam yang memberi kemakmuran kepada warga desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan. kini tak lagi dapat dinikmati. Sejak kedatangan PT Wijaya Intan Nusantara (WIN) tahun 2017 lalu dengan alasan memberi kemakmuran, tak berkenyataan. Justru perlahan memberi kekhawatiran dan menghilangkan sumber penghasilan warga yang bergantung dari hasil pertanian, tambak, dan tangkapan ikan. Tak sampai di situ saja, sumber mata air dan aliran sungai menjadi rusak meninggalkan nestapa bagi warga Torobulu. Pasalnya, area penambangan kini hanya berjarak sekitar 10 meter dari permukiman warga.

Dari penelusuran Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel), konsesi wilayah penambangan nikel yang dilakukan PT WIN sudah diambang batas menggerus sumber daya alam yang bermuara kepada kerusakan lingkungan hidup secara parah. Bahkan, sejauh mata memandang yang dulunya adalah hutan hujan dengan air terjun yang persisnya di belakang Sekolah Dasar Negeri (SDN) 12 Laeya, kini habis tak tersisa, bahkan wilayah pesisir yang dulunya dijuluki “Desa Dollar” kini tercemar, terancam kontaminasi kandungan buruk air besi dari hasil pengerukan nikel yang bernuara di wilayah pesisir menuju laut, yang tentunya mengancam biota laut, seperti siput bakau yang disebut warga lokal ‘burungo’ yang juga menjadi sumber protein warga sehari-hari. Bahkan, kini tak lagi ada keindahan hutan mangrove. Hampa, yang bersisa hanya galian di mana-mana yang makin meninggalkan kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup, tanpa ada reboisasi.

Keterpurukan keadaan itu, memantik pergolakan nurani seorang ibu rumah tangga, Haslilin (31 tahun) seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) yang berjibaku langsung dengan keadaan. Ia merasa prihatin apa yang menimpa desa nya.
Dulunya, ia bahagia sebelum kedatangan PT WIN. Ia hanya dipersibukkan dengan menjadi pedagang di Pasar Torobulu sebagai pedagang sembako yang lumayan memberinya penghasilan hidup tiap harinya untuk keluarga kecilnya dengan 3 putra putri yang manis.

Namun, seiring waktu keadaan makin berubah. Ia tak lagi mendapatkan pasokan air bersih. Bahkan aliran air dari sumber mata air sudah tak mengalir yang membuatnya bertanya dan gelisah karena mengganggu aktivitasnya. Ia terpanggil mempertanyakan soal kenapa PT WIN sudah sampai merusak sumber mata air. Namun bukannya mendapat jawaban, malah mendapat kriminalisasi. Bahkan diancam dipidanakan karena dianggap memantik dan menghalangi aktivitas tambang. Padahal, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang menuntut keadilan, yang sejatinya bukan hanya untuk dirinya saja, tapi juga untuk masa depan desanya yang kini terancam menghilang.

Haslilin, mengatakan, sebelum ia melakukan perlawanan menolak tambang. ia pernah diiming-imingi pekerjaan di tambang dan bantuan tiap bulan dari PT WIN. Tapi ia merasa tak sebanding apa yang dirasakannya. Ia malah kalut, akan dimana nanti ia dan keluarga kecilnya tinggal? Dan bagaimana anak- anaknya nanti di masa depan? Bagaimana nasib Torobulu dan desa lainnya? Ia merasa terpanggil untuk mempertanyakan kondisi desanya.

“Kita seakan dibodohi. Padahal ini kampung kami. Tempat tinggal kami mencari nafkah. Kami hidup damai di sini sampai tambang itu beroperasi,” katanya pada Walhi Sulsel, saat disambangi kediamannya di Desa Torobulu, Senin (14/10/2024).

Ia pun menceritakan, bahwa sejak melawan, ia kerap diancam dan merasakan premanisme. Bahkan daganganya di gudang pasar Torobulu dicuri sejak ia melakukan perlawanan dan kerap dipanggil di kantor polisi karena dianggap menghalangi operasional PT WIN.

“Saya dan kawan-kawan lain dipanggil ditanyai berjam-jam. Sempat kami takut, karena kami orang kampung. Saya ini tidak sampai tamat SD dan tidak tahu soal hukum. Kami hanya ingin tahu kenapa perlahan-lahan kampung kami rusak, sumber mata air kami diambil. Tapi kami dianggap penjahat. Pemerintah tak ada. Untung ada adik-adik dari Walhi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan adik-adik mahasiswa membantu kami. Saya merasa mendapat dukungan moral dan kami lebih berani menyuarakan hati kami karena kami tak salah. Kami akan menang karena kami bela desa kami, tanah kami yang mau diambil,” katanya.

Tak sampai di situ saja, Haslilin juga mendapat tekanan batin dari keluarganya karena memintanya berdamai dengan PT WIN.

“Bahkan mertua ku kini marah, menjauhi. Begitu pun sebagian warga yang sudah bekerja di tambang. Seolah aku orang asing. Bahkan Kepala Desa ku juga marah dengan saya. Tapi saya berusaha semangat,” kata Haslilin.

Haslilin juga beharap, pemerintah ada dan memberi support. “Setidaknya kata-kata penyemangat. Tapi ini tidak. Kayak kita sendirian, padahal pemerintah tugasnya bantu kami,” katanya.

Begitu pun, pejuang lingkungan hidup lainnya, Firmansyah (44 tahun), saat disambangi di rumahnya di Torobulu, kepada Walhi Sulsel, Ia menuturkan, bahwa ia menolak tambang karena itu tak sesuai dengan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

Di dalam Amdal tersebut, jelas telah diatur bahwa menambang tidak boleh dekat dengan permukiman warga berdasarkan regulasi UU Nomor 4 Tahun 2009.

“Ini sudah dekat sekali dengan rumah-rumah warga. Kami tak mau tinggal diam, karena tak ada manfaatnya dengan desa kami. Dulu kami makmur. Kini lihat sekarang, hanya ada galian di sana-sini. Makanya kami tuntut PT WIN memperlihatkan amdalnya. Tapi kami malah dikiriminalisasi, diancam,” kata Firmansyah.

Begitu pun, petani tambak Desa Torobulu, Harjun (44 tahun), juga menuturkan bahwa dulunya ia petani tambak, tapi kini tidak lagi karena merugi. Ikan dan udang yang diniatkan jadi pundi-pundi cuan (uang) kini hanya menyisakan lara.

“Udang dan ikan tidak bisa bekembang baik karena aliran air dari sungai sudah tercemar. Bahkan kini mengering seiring kami kehilangan sumber mata air. Jadi ikan dan udang mati,” kata Harjun.

Selain Desa Torobulu, dampak buruk PT WIN jiuga merambah desa tetangga lainnya, yakni Desa Mondoe. Salah satu warganya yang juga kesehariannya sebagai petani dan peternak, Wawan (30 tahun) kepada Walhi Sulsel, ia menuturkan kerap mendapat intimidasi dari PT WIN agar menjual tanahnya.

Ia menuturkan, sudah bertani sejak 15 tahun lalu. Kehidupannya ditopang dari hasil pertanian yang melimpah.

Dulu, sebelum ada tambang, hasil produksi sawahnya sampai 90 karung ditiap panen, kini tersisa hanya paling banyaknya 41 karung.

“Sumber mata pencaharian kami sedikit demi sedikit menghilang dan sudah 2 tahun ini menurun signifikan, turun lebih 50 persen tiap panen,” kata Wawan.

Tak hanya sumber mata pencaharian yang hilang, tutur wawan, tapi populasi hama dan tikus juga meningkat di permukimannya karena habitatnya hilang digerus ulah tambang nikel.

Bahkan parahnya, juga telah berdampak pada sumber mata air bersih desanya yang kini telah menghilang. Sungai juga tercemar, menyebabkann habitat di dalamnya seperti ikan, perlahan berkurang dan kini menghilang. Bahkan air sungainya sudah tidak dapat lagi digunakan, apalagi dikonsumsi karena sudah dipenuhi lumpur dan bau besi.

“Jadi sudah 2 tahun lebih kami membeli air bersih karena sumber mata air kami rusak. Begitu pun air sungai kami tidak dapat lagi digunakan beraktivitas seperti mandi, karena badan kami akan gatal-gatal. Padahal dahulu, sungai dan kali kami banyak sumber mata pencaharian di dalamnya, namun perlahan-lahan menghilang. Karenanya, kami berharap aturan ditegakkan, karena tidak ada manfaatnya. Dari cara mereka saja melakukan penambangan, sudah salah karena merusak lingkungan hidup. Kami juga sebagai masyarakat dirugikan, khususnya petani. Tanah kami ini adalah tabungan masa depan kami,” kata Bapak 4 anak ini.

Penulis : Marwiah Syam Butterflyrock